Posts

Showing posts from August, 2017

Menempuh Lorong Waktu di Sukarno

Image
RUANG Ir. Sukarno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana siang itu terasa senyap. Para peserta seminar menatap layar proyektor dengan seksama. Mereka sedang menonton cuplikan film tentang Bali di zaman dahulu. Bagai menempuh lorong waktu, membawa ingatan ke masa silam. Seminar yang bertajuk “Repatriasi, Hegemoni dan  Perspektif Politik Kebudayaan Bali”  berlangsung pada 22 Agustus 2017 dan diikuti oleh sekitar seratus peserta dari berbagai kalangan baik akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum. Ruangan penuh sesak dan panitia terpaksa menyiapkan kursi tambahan. Tampil sebagai pembicara seminar diantaranya Marlowe Bandem (Koordinator Arsip Bali 1928), Dr. Edward Herbs (Ketua dan Peneliti utama Bali 1928) dan I Wayan Juniartha (pengamat budaya  dan wartawan The Jakarta Post) Film-film yang diputar tak hanya berkisah tentang panorama alam Bali di masa tahun 1930-an, namun juga mengungkap tokoh-tokoh dan sekaa-sekaa legendaris Bali termasuk Ida Boda, I Marya, I Sampih,  I

Mencari Akar Fundamentalisme

Image
Penyerangan Polda Sumut pada dini hari jelang Idul Fitri (25/6) lalu yang menewaskan seorang polisi dan penusukan dua anggota Brimob di Masjid Falatehan, Jakarta selatan seusai para jemaah merampungkan sholat Isya berjamaah pada Jumat (30/6) menandakan aksi terorisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan dan tak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, sasaran kaum radikal kini tidak kelompok yang berbeda keyakinan namun pemeluk agama yang sama namun dianggap kafir dan mesti dihabisi nyawanya. Pemahaman yang salah dan berbahaya ini berkaitan erat dengan radikalisasi agama yang berujung pada kekerasan dan teror. Apa sebenarnya penyebab tumbuh suburnya radikalisme agama di Indonesia? Banyak pengamat yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Tetapi tidak juga. Banyak dari mereka yang mapan secara ekonomi, lulusan universitas, bahkan beberapa dari mereka adalah pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Mungkin penyebabnya karena

"Susah Ya Gak Ada Orang Jawa" -- Sebuah Catatan Budaya

Image
“Susah ya gak ada orang Jawa..,” Begitu kawan saya berujar saat hendak berangkat kerja. Dia bingung mencari penjual nasi yang pada hari-hari biasa mudah ditemui di pinggiran jalan Kota Denpasar. Pada masa libur panjang Idul Fitri memang susah mencari pedagang kaki lima. Penyebabnya, para pedagang yang kebanyakan pendatang (baca: orang Jawa) pergi mudik ke kampung halaman merayakan hari besar agama Islam tersebut. Biasanya seminggu atau dua minggu setelah Idul Fitri mereka akan balik ke Denpasar dan kembali bekerja sebagai pekerja non-formal. Misalnya pedagang kaki lima, buruh bangunan, pegawai salon dan spa, montir, pembantu rumah tangga, tukang cukur, bahkan pemulung dan tukang sampah. Sisanya bekerja di sektor pariwisata seperti karyawan hotel, supir, atau satpam. Belum ada data pasti jumlah pendatang di Denpasar. Di sebuah portal berita yang saya baca saat puncak arus mudik Lebaran lalu jumlah pemudik di pelabuhan Gilimanuk yang meninggalkan Bali berjumlah 270 ribu orang.

"Ngarit", Balada Wartawan Pencari Ceperan

Image
ADA istilah dalam pergaulan wartawan di Denpasar, ngarit (bahasa Bali: menyabit) yang memiliki makna meliput sebuah berita dengan menemui narasumber yang berpeluang besar memberi “amplop”. Sudah menjadi rahasia umum wartawan zaman sekarang identik dengan uang, malas pergi meliput jika tak ada “amplop”. Memang tak semua wartawan seperti itu, masih ada wartawan yang lurus dan menjaga idealisme namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Saya tak tahu kapan istilah “ngarit” muncul, istilah yang awalnya identik dengan petani dan kultur agraris ini  kini menjadi hal yang lumrah, walau menurut kode etik wartawan dilarang menerima sesuatu dari narasumber. Seiring perkembangan yang memberi kemudahan untuk mendirikan sebuah media kini kita jumpai banyak sekali media baik cetak maupun online bermunculan, pun wartawan yang kredibilitasnya patut dipertanyakan. Dengan bermodal kamera handphone dan kartu pers seseorang menjelma menjadi wartawan. Syukur jika tindak-tanduknya baik, bebe

Dulu Ya Dulu, Sekarang Ya Sekarang (Catatan untuk Sugi Lanus)

Image
TULISAN Sugi Lanus berjudul “Apakah jika Orang Bali Baca Karya Nietzsche Bisa Disebut “Nyastra”? – Merunut Kembali Arti Kata Sastra” yang dimuat di tatkala.co, 26 Agustus 2017 menarik dicermati. Penulis merunut arti kata sastra yang pingit dan sakral dan mempertanyakan orang Bali yang membaca karya sastra penulis modern semacam Nietzsche, Kafka, Salman Rushdie atau Ayu Utami bisa disebut nyastra disertai berbagai argumen. Sugi Lanus berpendapat kalau diamati secara saksama seseorang dikatakan nyastra apabila ia menekuni karya-karya sastra religius yang bernuansa Hindu (Sanskrit, Jawa Kuno, dan Bali) dan orang-orang yang menekuni kakawin Jawa Kuno atau Ramayana dan Sarasamuscaya serta berbagai tembang Jawa Kuno bisa dilabeli sebagai orang yang nyastra . “Sungguh sulit nampaknya bagi orang Bali bisa menyebut seseorang sebagai seorang yang nyastra bila ia menekuni karya-karya Nietzsche, Kafka, Salman Rushdie, atau Ayu Utami,” tulisnya. Ia juga menyebut nyastraisme sudah m