Posts

Showing posts from April, 2020

Kamar Kos dan Demokrasi

Image
Aku belajar sesuatu dari hidup dan tinggal di rumah kos; sebuah demokrasi! Kami hidup sendiri-sendiri, dengan berbagai pekerjaan, perjuangan dan nasib yang dipikul masing-masing penghuni. Tak ada tegur sapa, jika pun ada itu hanyalah basa-basi adat ketimuran. Jika ada yang berbicara banyak, bisa dipastikan itu dari kawan sekampung dan bukan orang lain. Atau ibu-ibu yang bergosip tentang tetangga tak   jelas pekerjaannya, sebab ia sering di kamar dan menulis entah apa (penyair kurus-berkacamata di kamar atas). Demokrasi, ya, demokrasi. Orang boleh bicara apa saja, asal tak didengar orang lain-- jangan lupa tutup pintu dan jendela, atau hidupkan musik keras-keras. Asal tak menganggu ketertiban- ketentraman,semua sah-sah saja. Tangis bayi lapar atau ibu marah-marah adalah orkestra sehari-sehari. Tak bisa dicampuri, sebab itu kesunyian nasib yang hakiki. Kau kenyang atau lapar tak ada yang peduli, sebab begitulah TV mengajarkan--hid

Ratnakara

Image
Semua akan berubah, tak ada yang kekal Kita pun bergegas di jalan penuh cemas “Lompatlah!” dulu Guru kita pernah berkata Namun aku memilih jatuh di jurang itu juga Babak-belur dihantam duka lara kehidupan Hingga akhirnya datang lagi kebijaksanaan Kudengar nyanyian merdu malam purnama Engkau memanggil mereka yang lupa jalan Ada yang melupakan kenangan bersama Mangkuk nasi bersama doa kebahagiaan Kalender berganti dengan cepat dan tergesa Kembang api menyala di malam kesia-siaan Kutuk masa lalu tiba-tiba menghantui ingatan Suara hati mengajakku masuk ke dalam diri Denpasar, 13 Januari 2020, 02:20 AM

Enam Babak Percakapan

Image
Enam Babak Percakapan             untuk para guru /1/ Kita menjadi congkak karena hidup di dunia sombong. Buku-buku etalase luar biasa bagi orang pintar. Intelektual suci, dipanggil guru! /2/ Kata-kata hebat sengaja kukutip untukmu. Bangunlah, hari sudah siang dan mimpi semalam buat kita enggan terbangun. /3/ Kebijaksanaan di alam luas, tak hanya pada buku kau beli di pasar. Kicau burung pun bicara arti kehidupan. Langit selalu beri tanda. /4/ Kita selalu berdebat, berebut nama di rupa tak lagi muda. Wajah perempuan belia terukir di kayu tubuh. Nalar liar pembenar, jiwa khianat. /5/ Kesadaran palsu. Berjubah polos dengan kata mutiara dari mulut kerap tersenyum. Kita semua korban, tersisih bumi yang jahat dan kejam. /6/ Aku rindu sawah menghijau. Iringan pemuja tuhan berbaju putih, menunduk saat kearifan lahir; batin tenang damai. Mistik dunia baru. Denpasar, 15 Oktober 2019, 11.35 AM Sumber gambar: pixabay.com

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Image
Rumah Berdaya Denpasar siang itu tampak lebih sepi dari hari biasa. Hanya tampak beberapa pegawai yang bertugas. Di masa pembatasan sosial karena wabah Covid-19 memang warga Rumah Berdaya dihimbau untuk lebih banyak di rumah, hanya pada saat berobat datang ke komunitas orang dengan gangguan jiwa yang berlokasi di Jalan Raya Sesetan, Pegok, Denpasar Selatan ini. Saya menemui Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya Denpasar dan berbincang tentang kegiatan bedah rumah yang baru saja selesai dan diserahterimakan pada akhir Maret 2020 lalu. Bedah rumah adalah program baru Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali, induk organisasi Rumah Berdaya Denpasar. Biasanya, program bedah rumah diinisiasi oleh pemerintah. Namun yang dilakukan kali ini berbeda. Bedah rumah dikerjakan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) khususnya skizofrenia. Mereka adalah warga Rumah Berdaya Denpasar yang telah pulih. Pak Nyoman, panggilan akrab Nyoman Sudiasa dengan samringah

Kalau Tuhan Memberimu Ramadhan

Image
Sajak Nanoq da Kansas kalau tuhan memberimu ramadhan kalau tuhan memberimu ramadhan damailah hidupmu dalam seribu cahaya bulan. fitrilah hatimu dikawal seribu malaikat yang memenangkanmu lewat dzikir waktu menebus dosa-dosa dunia yang tak berhenti melukai dirinya aku memberimu cinta saja hanya cinta. karena tak dapat kumiliki separuh bulan pun. dan waktu telah lama sekali meninggalkanku. sendiri. di sini, entah arafah atau gobi, sebagai musafir kuasaku hanya selangkah-langkah ke depan lama sekali aku telah belajar puasa mengundang jibril pagi-pagi untuk mengobati sayatan-sayatan zaman yang terus bernanah di sekujur riwayatku maka kalau aku tiba nanti di depan rumahmu – membawakanmu puisi ijinkan aku untuk sebutir kurma lewat ciuman di genangan oase matamu (Sumber: nanoqdakansas.blogspot.com) Gambar diambil dari dictionary.basabali.org

Menunggu Nasi Matang

Image
Sup di meja telah dingin. Sambil menanak nasi, aku memandangi ponsel kabarkan kematian dimana-mana. Detik demi detik, setiap hari. Dunia kini bersedih karena wabah membunuh jutaan nyawa. Kehilangan pekerjaan, banyak orang menjadi depresi. Ada yang bunuh diri. Katanya setelah ini lahir era baru, bumi sedang membersihkan diri. Kematian membuat sedih, kau belum alami hal itu. Lelaki mengundang makan orang lapar, baru saja ia dirumahkan. Dia jauh lebih mulia daripada mulut yang terus bicara. Aku teringat nyanyian guruku, bersama anaknya ia bergumam tentang ubi goreng dan sayur bayam. Makan apa yang ada. Nasiku telah matang. Puisi adalah angin berlalu, sebab aku belum bisa membuktikan apa-apa. Seperti lelaki pemberi makan itu. 2020

“Esensi Nobelia” dan Nasib Pengarang

Image
Di masa pandemi ini, saya lebih banyak berdiam di rumah sesuai anjuran pemerintah dan waktu luang saya isi dengan membaca buku. Saya membaca kembali cerpen berjudul “Esensi Nobelia” karya Oka Rusmini. Termaktub dalam buku kumpulan cerpen “Sagra”, diterbitkan pertama kali oleh penerbit IndonesiaTera pada tahun 2001. Saya pertama kali membaca cerpen ini dulu sewaktu SMA, cerpen yang sangat bagus sehingga tak bosan membacanya meski berulang kali. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan penulis yang menikah dengan lelaki yang dikenal sebagai penyair, yang percaya suatu hari puisi-puisinya meraih nobel sastra. Di bagian awal cerpen tokoh “aku” bercerita tentang bagaimana ia memilih untuk menikah dengan Rifaset, yang mengandalkan honor puisi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suatu hari, Rifaset ditanya oleh ibunya tentang pilihan hidupnya: “Apa kau akan hidup dari puisi saja, Rifaset? tanya ibunya ketika kami mohon restu untuk menikah. Apa kalau anak dan istrimu lapar,

Suatu Hari di Tahun Epidemi

Image
Jarum-jarum hujan menghujam wajahku Seperti kenangan yang datang tiba-tiba Menjemput ingatan entah tentang apa Mandi bersama ibu dulu sewaktu kecil Atau melihat tubuh telanjang kekasih Bersama nafas yang makin memburu Kota menjadi basah setelah panas itu Wabah membuat kecemasan panjang Berita kematian terus hadir di telinga Kau bersedih melihat badut menangis Berdiri di mal yang sepi tanpa pembeli Di depan kaki kotak uang tak jua terisi Kita ingin semua kembali seperti biasa Bekerja dengan tenang penuh keriangan Hamparan gunung terlihat di layar ponsel Awan-awan di kotamu kabarkan rindu ini 2020 Sumber gambar: pixabay.com

Belajar Filsafat, Hendak Menjadi Apa?

Image
Pak Wawan, begitu saya memanggilnya. Bapak dua anak asal Jembrana ini saya kenal sekitar dua tahun lalu melalui Facebook . Ia pengusaha yang suka menulis. Bacaan, pengetahuan, dan pergaulannya sangat luas. Ia penulis tetap majalah Wartam, majalah Hindu yang kini berkembang menyebarkan pengetahuan agama dan filsafat bagi masyarakat. Pak Wawan pemegang ijazah master ilmu agama dan kebudayaan, yang berguna bagi hobi menulisnya selain sibuk mengurus perusahaan. Ia senang berdiskusi dan ngobrol ngalor-ngidul, tak hanya dengan para pemikir dan cendikiawan juga dengan anak-anak muda, di mana ia menularkan dan berbagi pengetahuan. “Memauk,” begitu ia mengistilahkannya. Beberapa waktu lalu saya mampir ke rumahnya, setelah mengambil honor tulisan ke kantor redaksi koran di bilangan Padangsambian, Denpasar. Kami berbincang panjang tentang banyak hal; kebanyakan soal filsafat. Jadilah jebolan universitas bertemu dengan pemuda yang ‘hampir’ lulus universitas bertemu dan “memauk”,

Mendengar Franky, Membangun Asa di Masa Pandemi

Image
Franky Sahilatua, saya pertama kali mengenal lagunya saat duduk di sekolah menengah pertama. Kala itu saya tertarik mempelajari gitar. Lagu pertama yang saya mainkan adalah “Bis Kota”, berkisah tentang bus penuh penumpang di kota panas berdebu. Sederhana tapi penuh makna khas genre musik folk, seperti Joan Baez maupun Bob Dylan. Franky memulai karier musik pada tahun 1974. Meskipun warna musik country sangat terasa pada lagu-lagunya, jiwa musik yang ia bawakan masih berada di sekitar atmosfer budaya Indonesia. Ini menjadi kelebihan dengan lirik yang naratif dan kerap menyentuh dunia sosial, seperti dilansir Wikipedia. Pagi ini, puluhan tahun kemudian, saya tak sengaja mengetik namanya di kotak pencarian sebuah aplikasi musik di ponsel pintar. Ternyata ada lagu-lagu Franky, nyong Ambon kelahiran Surabaya yang telah berpulang pada 2011 silam. Maka, mengalunlah lagu-lagu seperti “Kemarin”, “Marina”, “Senja Indah di Pantai“, “Saudara Tua“, “Terminal”, Perahu Retak”,