“Esensi Nobelia” dan Nasib Pengarang
Di masa pandemi ini, saya lebih banyak berdiam
di rumah sesuai anjuran pemerintah dan waktu luang saya isi dengan membaca
buku. Saya membaca kembali cerpen berjudul “Esensi Nobelia” karya Oka Rusmini.
Termaktub dalam buku kumpulan cerpen “Sagra”, diterbitkan pertama kali oleh
penerbit IndonesiaTera pada tahun 2001. Saya pertama kali membaca cerpen ini dulu
sewaktu SMA, cerpen yang sangat bagus sehingga tak bosan membacanya meski berulang
kali.
Cerpen ini berkisah tentang seorang
perempuan penulis yang menikah dengan lelaki yang dikenal sebagai penyair, yang
percaya suatu hari puisi-puisinya meraih nobel sastra. Di bagian awal cerpen
tokoh “aku” bercerita tentang bagaimana ia memilih untuk menikah dengan Rifaset,
yang mengandalkan honor puisi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suatu hari,
Rifaset ditanya oleh ibunya tentang pilihan hidupnya:
“Apa
kau akan hidup dari puisi saja, Rifaset? tanya ibunya ketika kami mohon restu
untuk menikah. Apa kalau anak dan istrimu lapar, kau akan berkata pada anakmu,
‘Sebentar, puisi Ayah belum jadi.’ Lalu kau hibur anakmu yang merengek dan
menjerit keras itu dengan pentas pembacaan puisi? Kau akan membacakan
puisi-puisimu keras-keras di telinga anak-anakmu, berharap puisi-puisimu mampu
membendung rasa lapar mereka. Begitu?”
Akhirnya mereka menikah juga, dengan
sponsor teman-teman penyair dan wartawan, tak meminta sepeser pun dari
keluarga. Meski banyak yang memiliki cerita tersendiri kala melihat dua manusia
yang dalam cerpen digambarkan sebagai “manusia yang super-egois”, yang “bertemu
dan mencocokkan biji keegoisan masing-masing, seperti mencocokkan biji-biji
dalam lubang-lubang permainan congklak”. Biji-biji egoisme itu mereka tabur
dalam lubang-lubang permainan agar menjadi pertarungan yang indah.
Ada riak-riak kecil dalam perkawinan,
terlebih setelah Nobelia, anak mereka lahir dan tumbuh dengan tingkah lucu dan
menggemaskan. Nobelia butuh makan, sementara penghasilan orang tuanya
pas-pasan, kadang kekurangan. Mereka tak menyerah, tetap hidup dengan idealisme
dan daya hidup yang tak pernah padam. Keluarga kecil ini terbiasa makan
beberapa sendok bubur dicampur sayur (seperti bubur Manado) untuk mengurangi
rasa lapar. Belum lagi cicilan tanah di atas rumah sederhana yang mereka
tempati mesti dilunasi dalam jangka waktu terbatas. ”Kelahiran Nobelia penuh diiringi penyunatan dana. Pokoknya kami
berusaha agar tetap hidup dan menjaga udara kreativitas dalam rumah kecil kami”
Keadaan ekonomi mereka membaik setelah
Rifaset bekerja di sebuah penerbitan, menjadi penyunting buku-buku filsafat dan
seni. Terlebih Nobelia telah berusia lima tahun, perlu biaya untuk sekolahnya
nanti. Mereka merayakan hari ulang tahun Nobelia di sebuah restoran kenangan.
Saat hendak makan, Nobelia hanya menatap ikan besar di meja dengan tatapan
aneh. Rifaset menyuruh pelayan membungkus makanan. Sesampai di rumah, Nobelia
tetap hanya memandangi makanan itu. Sebelumnya, Sobrah, tetangga yang sering
mengajak anak mereka bermain bercerita tentang keanehan Nobeli yang akhir-akhir
ini selalu menolak makanan yang ditawarkan. Katanya, bocah itu sudah memakan
esensi kue-kue dan coklat itu. Esensi!
Nasib
Pengarang
Rusmini dalam cerpen “Esensi Nobelia”
dengan sangat detail menggambarkan kehidupan pengarang yang di negeri ini masih
belum setara dengan pekerjaan lain seperti karyawan swasta, guru atau bahkan aparatur
sipil negeri. Mengandalkan hidup dari honor tulisan tampaknya belum bisa
dijadikan jaminan finansial. Pun, pengarang yang telah menulis buku dan
mendapat royalti dari penjualan buku belum bisa berharap banyak di tengah minat
baca yang merosot tajam. Orang-orang lebih memilih membeli kuota internet
ketimbang sebuah buku. Candu gawai dan media sosial melahirkan kedangkalan,
masyarakat lebih senang membaca tulisan pendek dan acak. Tak seperti dulu saat
belum ada internet, informasi didapat dari surat kabar dan buku. Keadaan memang
sudah berubah. Buku-buku dengan format
digital pun kini mudah didapat dengan gratis, tak perlu mengeluarkan uang. Kini
jarang orang mau membeli buku konvensional.
Meski tak semua pengarang hidup miskin
dan melarat, agaknya profesi ini memang berdekatan dengan jalan sunyi, identik
dengan laku batiniah yang sahaja dan penuh kesederhanaan. Memilih menjadi
pengarang mesti siap dengan kehidupan yang jauh dari kemapanan. Untuk bisa
memenuhi kehidupan hidup banyak pengarang yang nyambi bekerja sebagai editor, penerjemah atau wartawan. Jika tak
begitu, alhasil pendapatan tak menentu, terutama mereka yang mengandalkan honor
tulisan di media daring atau koran yang di masa sekarang banyak yang menutup
rubrik sastra, jika pun bertahan tak lagi menyediakan honor untuk penulis.
Profesi sambilan di atas masih tergolong
biasa. Saya sedih saat suatu hari seorang penyair yang saya kenal banyak
melahirkan buku puisi melalui pesan WhatsApp
menawarkan cincin pada saya. Rupanya ia juga berjualan permata selain sebagai
penyair. Saya bertambah kecewa karena saya tak bisa membantunya dengan membeli
cincin itu. Hal ini menunjukkan nasib pengarang di Indonesia belum baik. Bahkan
hingga menjadi penjual batu akik untuk bertahan hidup!
“Jangan menjadi pengarang jika mau hidup
mapan” kalimat ini banyak dikatakan orang. Tapi bagaimana dengan pilihan hidup
dan kebahagiaan yang tak bisa diukur dengan standar tertentu? Apa yang salah
dengan profesi pengarang? Bukankah ia di peradaban masa lalu mempunyai posisi
terhormat dan sejajar dengan seorang resi atau bhagawan? Negara mestinya
berperan dalam menjamin harkat hidup pengarang, sebab melalui mereka inspirasi
dan kebijaksanaan tetap hidup dan menyala, seperti pelita yang terangi gelap
malam. **
Sumber gambar: pixabay.com
Sumber gambar: pixabay.com
Comments
Post a Comment