Posts

Showing posts from May, 2018

Belajar Membaca

Image
Kenali huruf itu Ejalah perlahan Jadikan kalimat Nikmat terdengar Lamat-lamat Kudengar Suaramu Membaca kata Sesekali kau Bertanya Saat temui Kesulitan Dengan sabar Ibu temani Kau belajar Kau pandai Seperti ayah Mengeja waktu Aksara diri Larut, hanyut Buku-buku Temani pagi Puisi terindah Bagi kita Banyak hal Kau pelajari Tak ada Di sekolah Semua tak Pasti. Seperti Nasib, penuh Misteri. Denpasar, 31 Mei 2018 Sumber gambar: canvaspaintingsbykatie.com

#Eksil, Puisi Angga Wijaya

Image
Eksil   Tak ada rumah bagimu Gelandangan terbuang Kampung halaman Datang dalam mimpi Mereka yang mati Mengajak pulang Kemana mesti pergi Kota tak beralamat Tersesat di mata Ibu Menikam sanubari Menyisakan luka Tak pernah kering Aku butuh peta Kau beri kata Tak selesai Tak ada jalan Bagai anjing Mengonggong Di ujung gang Aku tak pulang Tak ada cinta Kutemui Senyum palsu Tawa semu Sia-sia kerinduan Terpendam Tertinggal di halte Bus antar kota Bertahun-tahun Lamanya Denpasar, 29 Mei 2018      Lukisan: vrouwen In ballingschap / women in exile (2013). Sumber: artmajeur.com

Lorong 2

Image
Pikiran itu secepat angin, begitu kau berkata saat aku menjengukmu di rumah sakit. Kau mulai bicara filsafat dan aku mendengarkan dengan sabar. Kamar begitu sepi, hanya ada dua pasien yang sesekali terbatuk dan mengutuki sakit yang merampas kebahagiaan. Kau ingin tidur setelah bercerita banyak hal. Aku keluar menuju warung di seberang, mengisap rokok dan mengingat kata-kata yang keluar dari mulutmu. Akhir-akhir ini kau banyak berpikir, kepalamu terasa penuh dan tubuhmu memberi sinyal bahwa kau sakit. Kau perlu beristirahat dan menenangkan gejolak di dada.   Kau bahagia keadaanmu membaik dan dokter mengizinkan pulang. Menjalani hidup dengan pandangan baru dan membuang segala kekhawatiran. Senyum mengembang di wajahmu, tak lagi keruh seperti dulu. Kau berniat meninggalkan kekasih yang hanya membebani perasaan, membuatmu sakit dan meninggalkan luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Denpasar, 27 Mei 2018 Sumber gambar: www.frieze.com

#Lorong, Puisi Angga Wijaya

Image
/1/ Aku datang, senantiasa. Bicara tentang hari terlewati, juga kenangan yang berlalu seperti angin. Terluka oleh waktu yang menelikung diam-diam. Nasib? Entahlah Kita adalah penulis takdir, terpatri di kening seperti para tetua katakan. Jangan bersedih, cinta masih ada selama kau percaya padanya. Di rumah sakit ini, kesedihan merayapi lorong bagai hantu gentayangan air   mata tumpah, kematian begitu menakutkan ia bisa datang kapan saja tak kenal waktu. /2/ Tiga tahun aku mengenalmu, setiap bulan datang meminta penawar sakitku, penyakit yang hancurkan mimpi dan harapan. Aku tak menyerah, masih banyak kawan bernasib lebih buruk, terbuang dan dikurung dalam kamar sempit berterali, terpasung dengan sorot mata nanar penuh amarah. Kau bebaskan mereka, melepas rantai yang mengikat kaki. Masih ada harapan, seperti Wayan yang kini bebas dan bersemangat /3/ Kulihat pasien menunggu di lorong Terpancar harapan di matanya Duka-lara sirna perlah

#Gang Pipit, Sesetan -- Puisi Angga Wijaya

Image
I see skies of blue And clouds of white The bright blessed day The dark sacred night And I think to myself What a wonderful world    -Louis Armstrong Ambil gitar itu, nyanyikan lagu Seperti dulu saat kau remaja Bernyanyilah, agar beban sirna Hidup makin terjal dan berat Kau jalani dengan senyum Apa lagi tersisa, air mata menetes di malam sepi Teringat kampung halaman Kawan-kawan sepermainan Langgar adalah tempat setia Pelarian dari segala duka Saat ibu marah memukulimu Ayah tak bekerja, sementara anak-anak lapar ingin makan Lagu lama mengalun pelan Ditingkahi suara gitar Di siang yang panas Segelas kopi temani Percakapan kita Adakah yang lebih bahagia Kita bertemu di ruang tamu Berbagi kisah masa lalu Kenanglah! Hapus air matamu Jangan bersedih. Tuhan bersama kita, orang-orang terlupakan Digilas waktu yang nisbi Denpasar, 18 Mei 2018  Gambar: Lukisan "Man Playing Acoustic Guitar" Oleh Tommer

#Suara, Puisi Angga Wijaya

Image
Kututup pintu, agar suara-suara tak terdengar Menghina dan merendahkan, berasal dari tetangga yang berbincang di kamar sebelah Mereka tak paham aku penulis Tak bekerja seperti orang normal Pergi pagi dan pulang di sore hari Aku jarang keluar kamar Kuhabiskan hari dengan membaca dan menulis, kukirim ke koran Mendapat honor untuk hidup Mereka tak tahu penulis itu apa Mengapa lebih sering di   kamar Tenggelam dalam imajinasi Kutulis puisi dengan segenap daya Idealisme kujaga bertahun-tahun Tak menyerah pada hidup, di negeri yang menganggap sastra hanya khayalan dan bualan. Suara-suara itu tetap kudengar Masuk lewat lubang angin Aku mencoba tak peduli Kutelan obat redakan itu Berharap semua tak nyata Berasal dari pikiranku sendiri Seperti dikatakan psikiater “Skizofrenia paranoid,” katanya Tak ada yang membicarakanmu Tak ada yang peduli padamu Denpasar, 17 Mei 2018 Sumber gambar: www.tahamalasi.com

Sepatu dari Kawan

Image
Aku bekerja dengan pakaian sederhana; jeans lusuh dan kemeja pemberian kakakku, juga sepatu yang juga pemberian orang. Sepatuku robek dan bagian bawahnya hampir terlepas. Waktu itu aku baru bekerja di kota setelah bertahun-tahun mendekam di kampung halaman akibat skizofrenia. Aku belum mendapat gaji sehingga belum mampu membeli pakaian baru.  Kawanku prihatin melihatnya. Suatu hari ia memberikanku sepatu miliknya. Aku memakainya dengan perasaan sedih; betapa buruk hidupku, tak ada yang bisa mengubahnya selain diriku sendiri. Aku berjanji pada diriku untuk giat bekerja, agar bisa membeli jeans, kemeja dan sepatu baru. Denpasar, 16 Mei 2018 02:57 AM Sumber gambar: pinterest.co.uk

#Jaket dari Ayah, Puisi Angga Wijaya

Image
Dulu sekali, sewaktu aku remaja ayah membelikanku jaket berwarna cokelat. “Ini jaket dari Korea,” katanya. Aku senang sekali, tiap hari jaket itu kupakai,saat itu aku jatuh cinta pada puisi dan merasa menjadi penyair tiap kali pergi memakai jaket itu.   Aku tahu ayah membelinya di toko pakaian bekas di kota, loakan menjadi pilihan bagi orang miskin seperti kami. Aku tak mau menanyakannya lebih dalam, kepedulian ayah merupakan hal luar biasa bagiku.  Jaket itu menemaniku hingga bertahun-tahun kemudian, merantau dan bekerja di kota sambil terus menulis, puisi-puisiku menghiasi koran dan dibaca banyak orang.   Aku memakai jaket dari ayah saat diundang membaca puisi di festival sastra kenamaan yang dihadiri   penyair kenamaan. Jaket itu juga menemaniku saat ayah dirawat berminggu-minggu di rumah sakit sebelum akhirnya dibawa pulang dan meninggal beberapa hari kemudian.  Kini jaket pemberian ayah telah rusak, lapuk dan robek di sana-sini. Aku tak memakainya lagi dan menyimp

#Kenangan di Rumah Sakit Jiwa, Puisi Angga Wijaya

Image
Erich Heckel, The Madhouse (the Madman); Oil on canvas, 70.5 x 80.5 cm. Gelsenkirchen, Stadtisches Museum. Source: Pinterest.com kopi di sini nikmat sekali dibawakan tiap pagi menjelang “kopi, kopi, kopi,” suaranya bangunkanku dari mimpi kami minum bersama ada yang meminumnya saat panas, tanpa takut                            terbakar orang-orang menyebut kami gila, dan kami menyangka merekalah penyebab kami berada di rumah sakit ini di ruangan berterali bersama orang lain yang juga disebut gila matahari meninggi saatnya mandi lalu makan dan minum obat sementara ruangan dibersihkan dari segala kotoran dan serapah, juga tangis kami semalam aku tak tahu sampai kapan disini rinduku pada rumah semakin menebal ingin sekali menelpon “kapan ke sini menjemputku, kalian membiarkanku membusuk bertahun-tahun di tempat asing ini” kudengar kabar pasien yang lari atau bunuh diri sebab hidup tak        pen