Belajar Filsafat, Hendak Menjadi Apa?
Pak
Wawan, begitu saya memanggilnya. Bapak dua anak asal Jembrana ini saya kenal
sekitar dua tahun lalu melalui Facebook.
Ia pengusaha yang suka menulis. Bacaan, pengetahuan, dan pergaulannya sangat luas.
Ia penulis tetap majalah Wartam, majalah Hindu yang kini berkembang menyebarkan
pengetahuan agama dan filsafat bagi masyarakat.
Pak
Wawan pemegang ijazah master ilmu agama dan kebudayaan, yang berguna bagi hobi
menulisnya selain sibuk mengurus perusahaan. Ia senang berdiskusi dan ngobrol
ngalor-ngidul, tak hanya dengan para pemikir dan cendikiawan juga dengan
anak-anak muda, di mana ia menularkan dan berbagi pengetahuan. “Memauk,” begitu
ia mengistilahkannya.
Beberapa
waktu lalu saya mampir ke rumahnya, setelah mengambil honor tulisan ke kantor
redaksi koran di bilangan Padangsambian, Denpasar. Kami berbincang panjang
tentang banyak hal; kebanyakan soal filsafat. Jadilah jebolan universitas
bertemu dengan pemuda yang ‘hampir’ lulus universitas bertemu dan “memauk”,
diselingi isapan rokok dan ditemani secangkir kopi.
Ia
memberi masukan berarti untuk saya soal bahasa dalam tulisan dan saya senang
sekali dikritiknya, jadi tak sekadar puja-puji dan ucapan selamat di media
sosial yang saya dapat saat mempublikasikan tulisan saya.
Sarjana dan
Otodidak
Di
Bali, tak banyak pengusaha yang mempunyai hobi menulis, jika pun ada bisa
dihitung dengan jari. Terlebih yang mengambil studi hingga strata dua atau
tiga. Biasanya, mereka yang melanjutkan studi ke tingkat lanjut adalah pendidik
atau PNS yang meningkatkan kompetensi dan sertifikasi.
Berbeda
dengan Pak Wawan. Ia menuntut ilmu murni untuk meningkatkan pengetahuan dan
penguasaan terhadap berbagai teori sosial dan humaniora.
Menurutnya,
itu sangat berguna bagi hobi menulisnya. Gelar pendidikan yang didapat bisa
jadi hanyalah sebuah formalitas. Beberapa kawan menyarankannya melamar menjadi
dosen, namun ia belum mau karena minat utamanya adalah wirausaha.
“Saya
masih banyak tanggungan, menghidupi keluarga. Jika menjadi dosen itu hanya
memenuhi ego pribadi saya tanpa melihat kenyataan bahwa ada anak dan istri yang
perlu dinafkahi,” begitu ia berujar.
Saya
beberapa kali menemui orang seperti Pak Wawan, yang giat menuntut ilmu baik pada
insitusi formal seperti universitas maupun belajar sendiri secara otodidak.
Keduanya menurut saya sama, karena belajar sejatinya tak harus di sekolah dan
universitas.
Pak
Wawan mengaku, dengan banyak membaca berbagai ragam buku ia mendapat
pengetahuan yang berlimpah, ditambah dengan pergaulan intelektual baik di
kampus maupun di luar kampus hal tersebut diakuinya memberi dampak besar bagi
karir menulisnya.
Pak
Wawan salah satu contoh orang yang selalu belajar meskipun telah tamat dari
universitas. Meski telah meraih gelar tinggi tak membuatnya berhenti menuntut
ilmu dan menggali diri. Ijazah dan gelar pendidikan yang dimiliki tak
membuatnya berpuas diri. Ia seorang sarjana sekaligus otodidak.
Perbedaan
keduanya hanyalah soal ijazah. Jika menuntut ilmu di universitas mendapat
ijazah sebagai tanda kelulusan sedangkan bagi yang belajar secara non-formal
atau otodidak tidak mendapatkannya. Dalam banyak kasus kaum otodidak bahkan
mempunyai kemampuan yang melebihi tamatan universitas.
Kenapa
demikian? Saya pikir karena kaum otodidak lebih bebas mengeksplorasi ilmu tanpa
sekat-sekat seperti yang ada di universitas. Sejauh pengalaman saya yang pernah
mengenyam bangku universitas, ilmu yang didapat di universitas begitu parsial,
sesuai dengan disiplin ilmu yang diminati.
Bahkan,
tak jarang menumbuhkan sikap “fanatik” terhadap jurusan atau program studi yang
dimasuki, sehingga buku-buku yang dibaca hanya seputar disiplin ilmu yang
dipelajari .
Tak
mau membaca buku di luar disiplin ilmu yang digeluti. Padahal, untuk mengkaji
sebuah fenomena sosial misalnya kita perlu disiplin lintas-ilmu sehingga tulisan
atau karya akademik menjadi lebih tajam dan bersifat holistik atau menyeluruh.
Pada
Pak Wawan, ia sejak lama mengandrungi dan menekuni ilmu filsafat. Menurutnya,
ilmu filsafat memberinya cara berpikir kritis dan terstruktur. Lebih jauh lagi,
ilmu filsafat membuatnya paham cikal-bakal pengetahuan yang ada di dunia sebab
ilmu filsafat adalah ibu dari segala ilmu.
Ilmu
filsafat membuatnya makin dalam melihat segala sesuatu, yang awalnya sebelum
mengenal filsafat pandangannya seperti kebanyakan orang hanya di permukaan
saja.
Filsafat; barang
aneh?
Namun,
belajar filsafat di zaman sekarang dianggap sebagai hal yang aneh, di
tengah-tengah budaya massa di mana orang tak mau berpikir yang rumit. Alhasil,
filsafat identik dengan ilmu orang tua, serius, dan bahkan oleh beberapa pihak
dianggap sebagai hal yang berbahaya karena membuat seseorang menjadi atheis,
menyangsikan banyak hal termasuk keberadaan Tuhan.
Anggapan
yang belum tentu benar, sebab jika melihat etimologi, filsafat berasal dari kata
“philo” atau ilmu dan “sofia” yang berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah ilmu
tentang kebijaksanaan, atau dengan kata lain dengan mempelajari ilmu filsafat
seseorang diharapkan menjadi bijaksana.
Mengapa
ilmu filsafat tak berkembang khusunya di negara dunia ketiga seperti Indonesia?
Salah satunya adalah ketidakjelasan arah atau ketidakterhubungan antara dunia
pendidikan dengan realitas konkret kontemporer.
Trayektori
Pendidikan
Wahyu
Budi Nugroho, Sosiolog Universitas Udayana menyebutnya sebagai “trayektori
pendidikan”. Timbulnya trayektori pendidikan ditengarai oleh perceraian antara
teori dengan praksis yang kemudian memunculkan klasifikasi ilmu ke dalam
dikotomi low science dan high science.
“Persoalan
menjadi kian pelik manakala dihadapkan pada tatanan kapitalisme-lanjut yang
begitu mensakralkan ukuran-ukuran ekonomi sehingga beberapa ilmu pengetahuan
(disiplin) dirasa tak lagi relevan keberadaannya. Hal inilah yang nantinya
memunculkan problem “alienasi nilai guna ilmu pengetahuan,” katanya.
Di
sisi lain, posmodernitas yang memayungi tatanan kapitalisme-lanjut turut memicu
kontestasi antara legitimasi dengan otodidaktisme yang berujung pada diskursus
seputar kepakaran formal dan non-formal.
Wahyu
menjelaskan, tak dapat dipungkiri, usaha guna merujuk perceraian antara teori
dengan praksis telah diupayakan oleh banyak pihak (pemikir), beberapa
diantaranya seperti; Immanuel Kant, Karl Marx, Nietzsche, Frankfurt Schule, Ali
Syariati, dan Pierre Bourdieu. Namun pada akhirnya, perceraian tersebut ajeg
terjadi jua.
Menurutnya, memang
persoalan terkait bukan disebabkan oleh kurang matang, sistematis, dan
“meyakinkannya” berbagai pemikiran serangkaian tokoh di atas, melainkan lebih
pada fakta kehidupan artifisial yang diciptakan oleh aparatus-aparatus
spat-kapitalismus dalam payung (pos) modernitas.
“Hal inilah yang
kemudian turut menyebabkan terjadinya dikotomi antara low science dengan high
science dalam dunia pendidikan,” ujarnya.
Wahyu
menuturkan, pertanyaan yang kerap menyeruak kala seseorang tengah berjibaku
dengan ilmu-ilmu yang terklasifikasi dalam low science adalah “hendak menjadi apa?” Low science bisa dimisalkan seperti filsafat, antropologi, dan
sosiologi.
“Lebih jauh,
mari mulai dengan satu pernyataan: “Menjadi
seorang filsuf”, agaknya pernyataan tersebut begitu abstrak. Menjadi
filsuf, untuk apa? Seberapa besar kemungkinan profesi tersebut akan memberikan
penghasilan berlimpah? Atau jangan-jangan, tak ada
lagi profesi filsuf di era sekarang?,” pungkasnya.
Hal lainnya,
kata Wahyu, seberapa besar kemungkinan profesi tersebut akan memberikan
penghasilan berlimpah? Atau jangan-jangan, tak ada
lagi profesi filsuf di era sekarang? Serangkaian pertanyaan tersebut kiranya
bakal muncul tatkala pernyataan di atas tercetus—menjadi seorang
filsuf.
Dan memang,
profesi sebagai filsuf tak lagi diakui masyarakat di era sekarang, jikapun ada
profesi tersebut merupakan “achieved status”, artinya memerlukan berbagai
“kualifikasi formal” guna menyandangnya, ambilah misal Romo Magnis, S. T.
Sunardi, dan Yasraf Amir Piliang yang telah diakui sebagai para filsuf tanah
air, kesemuanya lahir dari rahim pendidikan formal, menyandang gelar doktor
atau profesor, memiliki karya-karya yang terjamin secara ilmiah-akademis, dan
berbagai kualifikasi formal-akademis lainnya.
Ilmu filsafat
dan “filsuf” adalah dunia yang sunyi. Tak heran, karena kurangnya peminat
jurusan filsafat di sebuah universitas di Indonesia ditutup. Tak punya nilai
jual. Hanya segelintir orang yang mau suntuk dan tekun mempelajarinya. Mungkin
hanya Pak Wawan dan teman-teman diskusinya, larut dalam pemikiran sarat
renungan saat bertemu dan “memauk” bersamanya.
sumber gambar: pixabay.com
sumber gambar: pixabay.com
Comments
Post a Comment