Sunyi Senyap Gerakan Literasi di Bali
![]() |
Taman Baca Kesiman adalah salah satu perpustakaan asyik di Denpasar. Foto tamanbacakesiman.com |
Kata “literasi” kian populer sejak beberapa tahun terakhir. Menurut kamus online Merriam-Webster, Literasi berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar)."
National
Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai "kemampuan
individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan
masyarakat." Definisi ini memaknai Literasi dari perspektif yang lebih
kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi Literasi
tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Banyak
lembaga atau yayasan yang bergerak di bidang literasi menumbuhkan kegemaran
membaca baik pada anak maupun orang dewasa dengan membangun perpustakaan dan
taman baca atau mengumpulkan buku untuk disumbangkan ke sekolah-sekolah di
Indonesia.
Bagaimana
dengan Bali? Gerakan literasi di Bali nampaknya masih sunyi-senyap. Memang ada
berbagai kegiatan menumbuhkan literasi namun sifatnya temporer, hanya pada
waktu-waktu tertentu seperti menyambut hari pendidikan nasional atau hari buku
nasional, setelah itu tak terdengar lagi gaungnya.
Penting
untuk membuat gerakan literasi yang berkelanjutan, seperti membangun
perpustakaan dan rumah baca. Dulu sekitar tahun 2004 sebelum literasi populer
seperti sekarang terdapat rumah baca di banjar Cengkilung, Peguyangan Kangin, Denpasar
Utara. Rumah Baca Cengkilung namanya. Di sana menyediakan buku-buku berkualitas
dengan harga terjangkau. Di samping menjual buku rumah baca tersebut juga
sering mengadakan diskusi dan bedah buku. Rumah Baca Cengkilung bisa dijadikan
contoh rumah baca yang berhasil menggalakkan dunia literasi di Bali khususnya
Denpasar.
Masyarakat
dan pemerintah perlu membangun lebih banyak membangun rumah baca, tak perlu
mewah sebab bukan tempat melainkan buku-buku yang dijual atau bisa dibaca di
tempat itu yang terpenting. Itupun kalau minat baca masyarakat Bali tinggi,
mengingat ada penurunan minat baca masyarakat kita yang kini tergantikan oleh
perangkat gawai dimana orang lebih suka membaca berita atau artikel melalui
media sosial dan buku makin kurang diminati.
Ajang
tahunan Denpasar Book Fair yang digagas Pemerintah Kota Denpasar patut
diapresiasi sebagai bukti kepedulian pemerintah terhadap dunia literasi.
Dilaksanakan setiap tahun dan sudah sepuluh tahun berjalan, ajang ini mampu
meningkatkan minat baca masyarakat terutama
generasi muda, terbukti dengan ramainya pengunjung yang memadati stand-stand buku
yang ada. Dari sini muncul gagasan untuk menjadikan Jalan Kamboja, Denpasar
tempat diadakannya Denpasar Book Fair sebagai pusat literasi di Denpasar.
Saya
membayangkan di sepanjang Jalan Kamboja dibangun rumah baca atau toko buku.
Pemerintah bisa menyediakan tempat dan kemudian bekerja sama dengan penjual
buku dan penerbit yang ada di Denpasar. Alangkah bagus jika di sebuah kota
terdapat tempat yang nyaman untuk membeli dan membaca buku seperti yang ada di
Yogyakarta, Bandung maupun Surabaya.
Selain
membangun rumah baca yang bisa dilakukan pemerintah adalah meningkatkan minat
menulis bagi generasi muda dengan mengadakan pelatihan menulis bagi para siswa
dan mahasiswa atau menyediakan ruang untuk menulis seperti koran atau majalah,
atau bisa juga membuat portal online yang khusus memuat tulisan anak muda Bali
sehingga budaya literasi di Bali semakin semarak dan berkembang. Tidak seperti
sekarang, gerakan literasi di Bali masih belum terdengar dan sepi jika
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.***
Comments
Post a Comment