[Pojok] Menceracau di Media Sosial

 


Media sosial kini menjadi permainan yang mengasyikkan bagi kebanyakan orang, termasuk para penulis. Menjadi wadah ekspresi tempat berbagi pemikiran dan karya, melalui tulisan pendek dan panjang atau sekadar status yang hanya terdiri dari beberapa kata atau kalimat.

Ruang interaktif yang menjadi ciri khas media ini membuat setiap tulisan bisa dikomentari pengguna lain menghadirkan suasana yang hampir mirip dengan kehidupan nyata. Bahkan, Hiperrealitas, meminjam istilah seorang pemikir.

Saya perhatikan, beberapa kawan penulis yang aktif di media sosial juga aktif menghasilkan karya misalnyamenulis buku. Awalnya saya berasumsi media sosial menjadi godaan besar penulis, karena bisa menyita waktu produktif dengan saling berbalas komentar atau terlibat dalam diskusi dan obrolan tentang sebuah isu atau fenomena yang hangat di masyarakat. Namun, tak semua penulis gemar menggunakan media sosial, ada juga yang menghindarinya.  

Bagi penulis yang jeli dan cerdas, media sosial bisa jadi menjadi sumber inspirasi dalam menulis. Sayangnya, tak banyak seperti itu. Banyak penulis justru terjebak dengan menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari dengan aktivitas di media sosial; membalas setiap komentar pada kiriman miliknya atau kawan lain, yang tak jatuh pada pergunjingan, menghabiskan waktu dan energi yang sebenarnya bisa digunakan untuk hal yang produktif.

Jika hanya 2-5 kiriman di akun pribadi setiap hari, itu masih tergolong normal. Tapi bagaimana jika 10-15? Hal itu hanya menunjukkan sebuah kondisi mental-emosional yang kurang stabil; bisa jadi sedang gelisah, marah, atau sedih dan membutuhkan perhatian dari orang lain sesama pengguna media sosial.

Tapi, bagaimana jika itu menjadi sebuah kebiasaan? Tentu hal ini kurang baik, bisa membuat kawan-kawan media sosial menjadi tak nyaman dengan kita. Niat awal membagi pemikiran akhirnya hanya menjadi “gerundelan” bahkan racauan, dari sampah-sampah pikiran yang kita kira menemukan saluran tepat, tapi sayangnya tidak demikian.

Ada baiknya energi kreatif tersebut digunakan untuk menulis buku, atau jika dirasa berat sebuah esai, cerpen dan puisi. Banyak jenis tulisan yang bisa dipilih. Pun, media konvensional (koran, majalah, tabloid, buletin) atau yang kini menjadi tren media daring yang banyak bermunculan siap memuat tulisan kita sesuai segmen dan genre pembaca yang sangat beragam. Tulisan yang tersebar di media massa atau buku menjadikan aktivitas dan energi kreatif tidak sia-sia. Sekadar “berkicau” atau bahkan menceracau.

 

Denpasar, 21 Februari 2021, 02:58 WITA

[Angga Wijaya]

Gambar diambil dari Pixabay 



 

Comments

Popular posts from this blog

Telaga Ngembeng

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Kamar Kos dan Demokrasi