Kamar Kos dan Demokrasi




Aku belajar sesuatu dari hidup dan tinggal
di rumah kos; sebuah demokrasi! Kami
hidup sendiri-sendiri, dengan berbagai
pekerjaan, perjuangan dan nasib yang
dipikul masing-masing penghuni.

Tak ada tegur sapa, jika pun ada itu
hanyalah basa-basi adat ketimuran.
Jika ada yang berbicara banyak, bisa
dipastikan itu dari kawan sekampung
dan bukan orang lain. Atau ibu-ibu
yang bergosip tentang tetangga tak
 jelas pekerjaannya, sebab ia sering
di kamar dan menulis entah apa
(penyair kurus-berkacamata
di kamar atas).

Demokrasi, ya, demokrasi. Orang boleh
bicara apa saja, asal tak didengar orang
lain--jangan lupa tutup pintu dan jendela,
atau hidupkan musik keras-keras.
Asal tak menganggu ketertiban-
ketentraman,semua sah-sah saja.

Tangis bayi lapar atau ibu marah-marah
adalah orkestra sehari-sehari. Tak bisa
dicampuri, sebab itu kesunyian nasib
yang hakiki. Kau kenyang atau lapar
tak ada yang peduli, sebab begitulah
TV mengajarkan--hidup bagai orang
 kota yang egois dan individualis.

Tak perlu membaca diktat kuliah atau
buku-buku politik untuk mengerti
demokrasi. Hiduplah di rumah kos,
kau akan paham arti hidup bersama
dan berdampingan. Dan, suara yang
hanya diperlukan saat musim
pencoblosan tiba.

Demokrasi, ya, demokrasi!



Denpasar, 5 Oktober 2018

Comments

Popular posts from this blog

SERENADE PAGI | Puisi Angga Wijaya

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Telaga Ngembeng