Mendengar Franky, Membangun Asa di Masa Pandemi




Franky Sahilatua, saya pertama kali mengenal lagunya saat duduk di sekolah menengah pertama. Kala itu saya tertarik mempelajari gitar. Lagu pertama yang saya mainkan adalah “Bis Kota”, berkisah tentang bus penuh penumpang di kota panas berdebu. Sederhana tapi penuh makna khas genre musik folk, seperti Joan Baez maupun Bob Dylan. Franky memulai karier musik pada tahun 1974. Meskipun warna musik country sangat terasa pada lagu-lagunya, jiwa musik yang ia bawakan masih berada di sekitar atmosfer budaya Indonesia. Ini menjadi kelebihan dengan lirik yang naratif dan kerap menyentuh dunia sosial, seperti dilansir Wikipedia.

Pagi ini, puluhan tahun kemudian, saya tak sengaja mengetik namanya di kotak pencarian sebuah aplikasi musik di ponsel pintar. Ternyata ada lagu-lagu Franky, nyong Ambon kelahiran Surabaya yang telah berpulang pada 2011 silam. Maka, mengalunlah lagu-lagu seperti “Kemarin”, “Marina”, “Senja Indah di Pantai“, “Saudara Tua“, “Terminal”, Perahu Retak”, dan lainnya di kamar kontrakan tempat saya lebih banyak berdiam terutama di masa pandemi yang mencemaskan banyak orang.

Bersama Jane, sang adik, karya-karya Franky tak hanya bercerita tentang cinta. Tapi juga soal alam; bulan, kabut, hutan, laut gunung, sawah, bahkan telur dadar dan Blue Jean, celana yang di masanya banyak digandrungi banyak pemuda di negeri ini tak luput ditulis dan dinyanyikan oleh mereka. Ya, lagu-lagu Franky & Jane mengajak pendengar berpaling sejenak pada hal-hal yang sering kita lupakan. Kita seperti diajak menengok kehidupan sekitar; alam, entitas yang selalu diekploitasi demi keuntungan ekonomi semata. Juga tentang kehidupan sosial, dengan syair dan lirik yang tak mengkritik secara ekstrem, tapi membangun dan menggugah  kesadaran bersama.

Candu Gawai
Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, mendengar lagu-lagu yang menenangkan batin tampaknya menjadi sebuah terapi, terutama bagi mereka yang dilanda kegalauan akibat masa depan yang tak pasti. Dirumahkan perusahaan atau mengalami pemutusan hubungan kerja yang berujung pada gangguan cemas bahkan depresi. Himbauan berdiam di rumah oleh pemerintah memberi dampak sampingan; waktu luang warga lebih banyak dihabiskan dengan bermain gawai; menonton atau membaca berita di media sosial. Alih-alih terhibur, yang didapat malah kecemasan dan perasaan galau bahkan stres, takut tertular virus atau sebaliknya menularkan pada anggota keluarga dan kerabat lain.

Menurut para ahli seperti yang saya di sebuah situs berita, membatasi penggunaan media sosial adalah salah satu cara yang dianjurkan untuk mencegah depresi. Jika memang berselancar di internet malah membuat kondisi mental semakin memburuk ada baiknya menjauhkan sejenak gawai di tangan, diganti dengan membaca buku-buku yang memotivasi diri. Bisa juga dengan membersihkan rumah dan berkebun seperti yang mulai banyak kawan saya lakukan. Atau, kembali menekuni kegemaran lama seperti mendengar atau bermain musik.

Bagi para penulis, agaknya sekarang masa yang baik untuk kembali menyunting tulisan yang pernah dibuat atau menulis karya baru berupa puisi, cerpen, kumpulan esai atau novel. Alhasil, berdiam di rumah menjadi berguna dengan aktivitas bermanfaat, melupakan sejenak hiruk pikuk media sosial yang kadang penuh dengan energi negatif; kekecewaan, kritik bahkan caci maki yang tak pernah berujung. Selain memang banyak hal baik dan bermanfaat seperti konten agama dan spiritualitas, parenting, serta pendidikan yang sayangnya masih kalah penggemar dibandingkan aib dan gosip seorang pesohor misalnya. Atau video musik ‘Tik-Tok” yang makin digandrungi.

Pulang ke Desa
Untuk itu, mendengar lagu-lagu Franky bagi saya bisa menjadi penyeimbang keadaan di luar diri yang chaotic. Simak saja syair lagu “Pada Bukit Pedesaan”: “Sekarang semua telah kutinggalkan/Tembok-tembok tinggi dan kepalsuan/Kuayun langkah/Kurentangkan tangan/Di bukit-bukit pedesaan//”. Jika dirasa hidup di kota besar kini menjadi sulit, pulang ke kampung halaman menjadi pilihan yang tak salah, bahkan bisa menjadi tepat di tengah pandemi saat ini. Menggarap lahan sawah atau ladang, menjadi petani dan peternak yang merupakan akar budaya sebagian besar masyarakat Indonesia. Di Bali, runtuhnya sendi-sendi ekonomi yang (hanya) berkiblat pada pariwisata hampir seratus tahun belakangan menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Bali masih akan terus bergantung pada pariwisata?

Sementara lahan-lahan produktif menyusut tajam akibat alih fungsi, pertanian dan perkebunan tak lagi dinikmati dan dihormati sebagai sebuah warisan budaya. Anak-anak muda lebih senang bekerja di kota, menjadi pencuci piring restoran atau petugas pembersih kamar hotel ketimbang tetap tinggal di desa menjadi petani. Pertanian dianggap sesuatu yang kuno dan tak menghasilkan apa-apa. Bekerja di villa dan hotel apalagi di kapal pesiar jauh lebih bergengsi.

Kemajuan dan keberhasilan Bali karena pariwisata amatlah semu. Saat kawasan pariwisata sepi karena tak ada turis yang datang, pulang ke kampung halaman menjadi pilihan satu-satunya. Ini bukan sebuah kekalahan melainkan kemenangan apabila sisa lahan yang masih tersisa kita tanami, dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Membangun asa di desa yang kerap kali kita lupakan demi sebuah gengsi hidup di kota yang menurut Franky penuh “tembok-tembok tinggi dan kepalsuan.”

Kembali ke desa, menyatu dengan alam, hidup di masyarakat adat dan merasakan atmosfer kehidupan yang polos dan lugu. Harapan itu masih ada, asalkan kita mau. Bali perlu kembali ke budaya asli, budaya agraris yang makin tergerus industrialilasi secara massif dan membabi-buta, mengubah karakter dan tatanan kehidupan masyarakat sedemikian rupa. Bukankah membangun dari desa juga menjadi program unggulan pemerintah saat ini? Mari kita memulainya.

April 2020

Sumber gambar: djarumcoklat.com 









Comments

Popular posts from this blog

SERENADE PAGI | Puisi Angga Wijaya

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Telaga Ngembeng