"Ngarit", Balada Wartawan Pencari Ceperan

ADA istilah dalam pergaulan wartawan di Denpasar, ngarit (bahasa Bali: menyabit) yang memiliki makna meliput sebuah berita dengan menemui narasumber yang berpeluang besar memberi “amplop”.

Sudah menjadi rahasia umum wartawan zaman sekarang identik dengan uang, malas pergi meliput jika tak ada “amplop”. Memang tak semua wartawan seperti itu, masih ada wartawan yang lurus dan menjaga idealisme namun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Saya tak tahu kapan istilah “ngarit” muncul, istilah yang awalnya identik dengan petani dan kultur agraris ini  kini menjadi hal yang lumrah, walau menurut kode etik wartawan dilarang menerima sesuatu dari narasumber. Seiring perkembangan yang memberi kemudahan untuk mendirikan sebuah media kini kita jumpai banyak sekali media baik cetak maupun online bermunculan, pun wartawan yang kredibilitasnya patut dipertanyakan.

Dengan bermodal kamera handphone dan kartu pers seseorang menjelma menjadi wartawan. Syukur jika tindak-tanduknya baik, beberapa oknum yang mengaku sebagai wartawan menyalahgunakan profesi ini dengan membuat berita yang menyudutkan pihak tertentu yang berujung pada aksi pemerasan.

Untunglah ngarit tidak mengandung persepsi negatif seperti pemerasan. Ngarit jika dikembalikan ke makna aslinya ibarat seorang petani yang bangun di pagi hari lalu minum kopi kemudian pergi untuk menyabit rumput di sawah atau ladang. Ada suasana santai disana, tidak mengejar atau dikejar target. Begitu pula di dunia wartawan, ngarit bisa dianalogikan seperti petani, tidak ada unsur paksaan atau target. Saat pergi meliput dan menemui narasumber syukur jika diberi amplop namun jika tidak diberi tak apa-apa. Ada unsur kedekatan emosional antara wartawan dan narasumber yang terjalin. Seorang wartawan yang kali pertama bertemu narasumber biasanya akan menjalin pertemanan dan silaturahmi, kemungkinan untuk bertemu kembali di waktu yang lain sangat besar. Manusiawi, bukan?

Seorang teman wartawan saat saya tanya alasan mengapa ngarit menjawab bahwa jika hanya mengandalkan gaji dari perusahaan media tak cukup untuk memenuhi kebutuhan di kota besar seperti Denpasar. Apalagi di saat sekarang bisnis media bagai jamur di musim hujan, persaingan makin ketat, media online banyak bermunculan menjadi ancaman bagi media cetak konvensional. Wartawan kini “merangkap” menjadi marketing, mencari iklan dan berita berbayar yang dikenal dengan berita advertorial untuk pemasukan perusahaan. Bahkan ada perusahaan media yang tak memberi gaji kepada wartawan, wartawan dibebaskan mencari penghasilan sendiri dengan mencari iklan atau melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah atau perusahaan swasta. Dan, tentu saja mengandalkan penghasilan dari ngarit.

Jangan tanya soal independensi wartawan. Bisnis media massa yang melaju dengan pesat dan tuntutan komersial secara tidak langsung telah membunuh independensi wartawan. Pemilik modal telah menempatkan para wartawan sebagai alat mendapatkan keuntungan yang melampaui kompetensinya. Dampak tekanan dari perusahaan media agar wartawan juga menjadi pencari iklan, pastinya akan menggerus idealisme dan independensi wartawan. Maka pada saat menyampaikan informasi pertimbangan untung-rugi, kesinambungan hubungan dengan pemasangan iklan yang juga narasumber menjadi beban.

Kini memang bukan era wartawan idealis semacam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, atau Goenawan Mohamad. Mereka anak zaman yang berbeda. Wartawan sekarang hidup di zaman yang serba materialis, tuntutan ekonomi menjadikan wartawan harus cerdas menyiasati hidup. Jika dulu sebuah berita murni tanpa ada sangkut paut dengan uang kini ada berita berbayar, narasumber membayar sejumlah uang untuk berita yang akan dimuat atau ditayangkan. Perubahan yang tak bisa dihindari yang justru mengancam dunia pers kita.

Dan, fenomena ngarit menjadi menarik untuk dicermati. Maka, menjadi hal biasa jika suatu pagi saya menerima pesan WA dari seorang teman wartawan; “Bro, kamu ngarit dimana hari ini….?” 




(Sumber gambar: www.curata.com)

Comments

Popular posts from this blog

Telaga Ngembeng

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Kamar Kos dan Demokrasi