Mencari Akar Fundamentalisme

Penyerangan Polda Sumut pada dini hari jelang Idul Fitri (25/6) lalu yang menewaskan seorang polisi dan penusukan dua anggota Brimob di Masjid Falatehan, Jakarta selatan seusai para jemaah merampungkan sholat Isya berjamaah pada Jumat (30/6) menandakan aksi terorisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan dan tak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, sasaran kaum radikal kini tidak kelompok yang berbeda keyakinan namun pemeluk agama yang sama namun dianggap kafir dan mesti dihabisi nyawanya. Pemahaman yang salah dan berbahaya ini berkaitan erat dengan radikalisasi agama yang berujung pada kekerasan dan teror.

Apa sebenarnya penyebab tumbuh suburnya radikalisme agama di Indonesia? Banyak pengamat yang mengatakan kemiskinan adalah penyebab tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Tetapi tidak juga. Banyak dari mereka yang mapan secara ekonomi, lulusan universitas, bahkan beberapa dari mereka adalah pejabat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Mungkin penyebabnya karena sebuah pemahaman agama yang setengah-setengah, pemahaman agama secara literal atau sikap fanatik yang berlebihan yang sering juga dikaitkan dengan fundamentalisme agama. Dalam sebuah diskusi yang bertajuk "Fundamentalisme dan Masa Depan Indonesia" di Denpasar beberapa tahun lalu, Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mengutip Karen Armstrong dalam buku Battle for God, menyebut bahwa fundamentalisme adalah akibat dari modernisasi yang hadir secara agresif sehingga memporak-porandakan pandangan dunia lama agama-agama, dan dengan demikian menciptakan menciptakan sejenis keterangasingan dan keterlunta-luntaan simbolik.

Sebagai akibatnya, manusia modern mencari tempat pengasingan yang dapat melindungi mereka dari serbuan modernisasi yang agresif; tempat perlindungan atau suaka itu tak lain adalah agama. Ullil juga menyebut dua model fundamentalisme: rejeksionis dan eskapiestik. Fundamentalisme rejeksionis adalah fundamentalisme yang menolak seluruh warisan modernitas seperti tampak dalam pandangan Sayyid Qutb, pemikir Islam dari Mesir yang dianggap sebagai bapak doktrinal fundamentalisme Islam modern, atau Ayatollah Khomaeni dalam awal-awal revolusi Iran. Kaum fundamentalis Islam yang rejeksionis menolak demokrasi sebagai sistem pangaturan kehidupan sosial, karena demokrasi adalah sebentuk subversi atau kudeta terhadap kekuasaan Tuhan yang Mutlak dan menggantinya dengan kekuasaan rakyat. Fundamentalisme jenis kedua, yakni fundamentalisme eskapis-piestistik adalah jenis fundamentalisme yang menghendaki suatu cara hidup yang “lain”. Yang berbeda dari cara hidup sekuler. Fundamentalisme jenis ini adalah jawaban atas problem keterasingan yang dialami manusia modern. Seorang perempuan Muslimah yang memakai jilbab merasa bahwa dengan memakai secarik kain di kepala itu ia merasa “aman” dari gempuran modernitas yang mengasingkan; dengan secarik kain itu ia telah merasa “pulang kampung” dan menikmati hidup yang aman dan tenang. Tema utama dalam fundamentalisme kedua ini adalah ketenangan batin. Dalam bentuknya yang ekstrim, fundamantalisme kedua ini bisa mengambil bentuk “menarik diri” dari kehidupan umum, karena yang terakhir itu telah mengalami polusi yang parah oleh nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan nilai agama.

Karena itulah, dalam fundamentalisme kedua ini kita kerap kali mengendus semangat eskapisme atau pelarian diri dari kehidupan dunia. Mistisisme, New Age, Klenik, dan sebagainya, merupakan alternatif yang digemari orang-orang modern yang ingin mancari ketenangan batin. Beda antara fundamantalisme jenis pertama dengan kedua adalah: yang pertama bersifat destruktif dan supremasis, yang kedua tidak, yang pertama ingin menggantikan “kota manusia” dengan “kota Tuhan”, sementara yang kedua sekedar hendak membangun “bilik Tuhan” yang kecil di pojok rumah sebagai tempat untuk khalwat atau retreat dari kehidupan umum yang mengalami proses pembendaan atau sekularisasi.

Pada akhir makalahnya Ulil menulis “fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia, terutama fundamentalisme rejeksionis. Yang kita perlukan di masa depan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak memandang dirinya sebagai bersifat mutlak dan supremasis. Saya melihat bahwa salah satu tugas penting ke depan bagi seluruh agama adalah mengembangkan suatu pandangan keagamaan yang menyadari tentang universalitas kemanusiaan yang sensitif terhadap keragaman. Pandangan keagamaan yang terlalu menekankan keunikan seraya melupakan segi kemanusiaan yang universal jelas kurang menguntungkan bagi kita.”

Sebagai intelektual muslim Ulil mungkin hanya ingin menyoroti fundamentalisme dalam Islam. Namun fundamentalisme juga terdapat dalam agama Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu. Fundamentalisme ada di semua agama. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa sutradara Garin Nugroho dan novelis Dewi Lestari yang karya mereka dituduh telah melecehkan agama Hindu oleh sebuah forum intelektual Hindu di Denpasar. Sebuah tuduhan yang tak berdasar sebab Garin Nugroho hanyalah mengangkat cerita dalam Ramayana ke dalam film dan Dewi Lestari hanya memasang simbol ‘OM” dalam sampul novelnya, novel spiritual yang banyak mengangkat nilai-nilai buddhisme. Maka itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Ulil. Fundamentalisme jelas bukan masa depan Indonesia. Fundamentalisme tidak cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah negara yang menjunjung nilai-nilai keragaman. Bukan keseragaman. Indonesia bukan negara agama. Bukan pula negara sekular. Indonesia berdasar atas Pancasila, yang telah terbukti berhasil menyatukan segala perbedaan. ***


*) Penyair dan Wartawan, tinggal di Denpasar



(Sumber gambar: www.tatkala.co)

Comments

Popular posts from this blog

Telaga Ngembeng

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Kamar Kos dan Demokrasi