Mangku Sukarta, Pengalaman “Dikubur” Tiga hari
Mungkin yang terbayang di benak kita
ketika mendengar ritual pendem atau amati raga adalah sesuatu yang seram,
angker bahkan menakutkan. Namun itulah fenomena atau peristiwa budaya yang ada
di masyarakat Bali. Ritual pendem atau amati raga biasanya dilakukan oleh calon
wiku atau sulinggih dalam
upacara dwi jati sebagai
syarat untuk menjadi sulinggih. Namun ada juga upacara pendem atau amati raga
yang dilakukan diluar konteks menjadi sulinggih. Seperti yang dilakukan Mangku
Sukarta, penekun spiritual asal Sesetan, Denpasar. Ia pada tahun 2000
silam pernah melakukan ritual pendem atau amati raga. Namun ritual amati raga
yang dilakukan Mangku Sukarta ini berbeda dengan ritual
amati raga yang
dilakukan calon sulinggih atau brahmana. Jika mati raga yang dilakukan wiku
atau sulinggih berdasarkan sastra dan uparaca, ritual amati raga yang dilakukan
oleh Mangku Sukarta semata-mata dilakukan
berdasarkan sruti atau pawisik dari
Ida Sasuhunan.
Ritual amati raga ini menurut Mangku
Sukarta bertujuan untuk menyucikan diri dan menghilangkan Sad Ripu, yakni enam musuh yang ada di diri manusia, antara lain
ketamakan, kebingungan, iri hati, dan kemarahan. Juga sebuah upaya untuk meninggalkan
segala kebiasaan buruk selama hidup, perbaikan diri menuju ke arah yang lebih
baik. Ritual pendem atau amati raga ini menurutnya
bukanlah untuk memperoleh kesaktian atau ilmu tertentu, jika ada yang
melakukannya untuk tujuan demikian maka itu sudah melenceng. Keputusan
untuk melakukan ritual pendem atau mati raga ini bukanlah sesuatu yang gampang,
sebab ritual ini sangat beresiko dan berbahaya, jika tak mampu bisa berujung kematian.
Sebelum melakukan ritual amati raga Mangku Sukarta sempat melakukan rapat
keluarga, serta meminta pertimbangan kepada bendesa dan prajuru adat dan dinas
banjarnya dan mendapat jawaban bahwa sebaiknya
ritual tersebut sebaiknya jangan dilakukan, karena belum ada orang yang pernah dan berani melakukan itu di banjarnya sebelumnya. Namun karena terus menerus mendapat ketelan pewacan (sruti) atau pawisik
dari Ida Sasuhunan, Mangku Sukarta
akhirnya mau melakukan ritual pendem atau mati raga. Muncul rasa takut dalam
dirinya nanti terjadi apa-apa. Dia
menangis ketika itu. Akhirnya ritual pendem atau mati raga pun dilakukan.
Prosesnya mirip upacara kematian yakni pertama-tama tubuh dimandikan, dimasukan
ke dalam peti dan kemudian dikubur. Ketika sebelum dimasukan peti saat
diperciki tirta Mangku Sukarta tak sadarkan diri. Meskipun begitu ritual tetap
harus dilanjutkan.
Ada pengalaman spiritual yang tak
terlupakan oleh Mangku Sukarta ketika dirinya dikubur bak orang mati dalam
upacara amati raga. Dia melihat ada yang menjemputnya memakai
sebuah kereta kencana lengkap dengan kusirnya. Di kereta kencana tersebut ia
melihat sosok perempuan cantik yang mirip seorang putri. Kemudian saya melihat
ada sebuah lorong yang menuju ke laut. Kereta kemudian masuk ke laut. Apa yang Mangku Sukarta lihat benar-benar indah, seperti sebuah dunia lain.
Ia ingin bicara ketika itu namun mulutnya
tak mampu bergerak. Peristiwa itu terjadi sekitar 20 menit, Mangku Sukarta kemudian tak ingat apa-apa lagi, dan ketika sadar dia sudah berada di Pura Silayukti, Karangasem.
Pengalaman niskala Sukarta selama 20 menit itu ternyata dalam dunia sekala atau
nyata adalah selama tiga hari. Ketika di hari ketiga, para
kerabat dan sanak keluarga mulai cemas akan keadaan Mangku
Sukarta. Mereka kemudian membongkar “kuburan” Mangku Sukarta dan mendapati
tubuhnya tak ada disana, hanya ada pakaiannya saja. Para keluarga sangat cemas
dan khawatir. Untunglah sejurus kemudian datang seorang “utusan” yang memberi
tahu bahwa Mangku Sukarta dalam keadaan selamat dan
berada di Pura Silayukti, Karangasem. Mangku
Sukarta memang ditemukan dalam keadaan telanjang di Pura Silayukti. Menurutnya
itu mempunyai makna simbolis, yakni ia
terlahir kembali ibarat seorang bayi yang lahir dalam keadaan polos dan
telanjang. Setelah melalui pengalaman yang luar biasa dalam hidupnya, Mangku
Sukarta kini menjalani hidupnya dengan lebih rileks. Sehari-hari ia menjadi seorang
penyembuh, banyak yang datang ke rumahnya di bilangan Tegal
Wangi, Sesetan untuk nangkil maupun berobat**AW
(Tulisanku ketika menjadi wartawan di tabloid Bali Niskala, September 2014)
Mangku Sukarta (Tengah) |
Comments
Post a Comment