Membayangkan Denpasar Seperti London
Londonistan adalah julukan terbaru bagi London.
Yang menciptakan julukan tersebut adalah jurnalis terkemuka Melanie Phillips
yang melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibukota Inggris di masa
kini.
Jaya Suprana dalam sebuah tulisannya dengan
bernas mencermati fenomena Londonistan tersebut. Disebutkan Suprana, Sejak 2001
sampai dengan 2016, di London telah didirikan 423 mesjid baru sementara sekitar
500 gereja telah ditutup. The Hyatt United Chuch dibeli oleh umat Islam dari
Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo Peter dirubah
menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist.
Bukan hanya bangunan yang berubah sebab pada tahun 2016 jumlah kaum Mualaf di
kota Londonistan meningkat dua kali lipat.
Suprana juga menulis gejala Londonistan sekadar
ekspresi perubahan peta demografik keagamaan di Inggris di mana kebetulan agama
Nasrani sedang mengalami masa pasca kematangan sementara Islam sedang mengalami
masa pertumbuhan dan hal tersebut adalah wajar sebagai bentuk perubahan
peradaban yang tak perlu dianggap sebagai mimpi buruk di malam hari.
Membaca tulisan Suprana saya teringat Denpasar.
Ibukota provinsi Bali ini juga mengalami perubahan demografik keagamaan sejak
beberapa dasawarsa terakhir. Penduduk Denpasar kini tak hanya orang Bali yang
beragama Hindu namun juga pendatang dari Jawa, NTB dan NTT yang notabena
beragama Islam dan Kristen. Menurut data statistik, jumlah penduduk pendatang
di Denpasar lebih dari 31 persen dari 840.000 penduduk Denpasar, termasuk yang
berasal dari berbagai kabupaten di Bali.
Meski tak sama persis dengan yang terjadi London
yakni tumbuh pesatnya tempat ibadah suatu agama, hadirnya kaum pendatang di
Denpasar direspon dengan sikap kontradiktif oleh orang Bali. Di satu sisi pendatang
diterima dengan ramah atas nama toleransi dan di sisi lain ada sikap
resistensi, dibuktikan dengan adanya wacana Ajeg Bali yakni penguatan identitas
lokal atas kaum pendatang yang disinyalir mengamcam eksistensi penduduk lokal.
Pertumbuhan penduduk pendatang yang kian pesat
dan nyaris tanpa batasan membuat Denpasar kini menjadi kota yang sangat heterogen.
Bisa dibayangkan, sepuluh atau dua puluh lagi jumlah penduduk pendatang bisa
menyamai atau bahkan melebihi penduduk lokal. Hal ini tentu menimbulkan
berbagai perubahan. Bukan hal yang mustahil di masa depan walikota Denpasar bukan orang Bali yang
beragama Hindu melainkan warga pendatang yang non-Hindu, seperti halnya London
kini yang memiliki walikota Muslim.
Kasus penuntupan tempat ibadah oleh kelompok
yang mengatasnamakan suatu agama di beberapa wilayah di Indonesia atau pertumbuhan
tempat ibadah suatu agama di London menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah
penganut sebuah agama bisa menjadi ancaman bagi umat agama lain. Semoga hal itu
tak terjadi di Bali yang masyarakatnya dikenal damai sejak dahulu kala.
Meski belum ada gejala ke arah Islamophobia, resistensi
terhadap warga pendatang patut dicermati bersama agar tidak menjadi api dalam
sekam. Perlu ada kebijakan pemerintah yang membatasi pertumbuhan penduduk
pendatang walau hal itu sulit dilakukan mengingat Bali adalah wilayah NKRI dan
setiap warga negara berhak menempatinya. Membangun kesadaran hidup bersama juga
perlu ditumbuhkan, sebagaimana pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung.”
Resistensi terhadap penduduk pendatang juga bisa
menjadi komoditas politik, terutama bagi politikus rasis yang pandai
menggunakan isu rasial untuk meraih dukungan. Kasus penolakan pembangunan padmasana di kantor kelurahan Loloan
Barat, Negara-Jembrana beberapa waktu lalu yang ramai diperbincangkan di media
sosial dan menimbulkan keributan bisa dijadikan contoh isu rasial merupakan hal
sensitif dan dijadikan komoditas politik
yang bisa menimbukan perpecahan.
Denpasar memang bukan London. Perubahan peta demografik
keagamaan bisa terjadi dimana saja, Hal ini perlu didiskusikan bersama sehingga
bisa ditemukan jalan keluar. Jangan karena atas nama SARA kita menutup diri
terhadap masalah yang kenyataannnya benar-benar ada di sekitar kita. Jangan
pula setelah ada masalah kita lalu terperangah dan baru sadar bahwa ada yang
tak beres dengan keberagaman kita lalu mencari pembenaran atas apa yang terjadi.
Denpasar,
1 September 2017
(Sumber gambar: www.bali.bisnis.com)
(Sumber gambar: www.bali.bisnis.com)
Comments
Post a Comment