Aktivis, Petani, dan Pencarian Jati Diri Orang Bali
![]() |
(Sumber gambar: Okezone News) |
Seorang
kawan bercerita saat kami bertemu tentang aktivitasnya kini menjadi petani di
kampung halamannya. Ia sangat bersemangat dan antusias menceritakan hal
tersebut. Kawan saya pembuat film dan beberapa filmnya memenangkan berbagai
festival dan kompetisi film. Saya mengenalnya sebagai pemuda Bali yang cerdas
dan kritis. Ia pernah masuk kuliah di beberapa universitas namun tak satupun
yang selesai. Mungkin karena kegelisahan yang dirasakan tak mendapat jawaban
dari menuntut ilmu. Sejak beberapa tahun terakhir ia balik ke kampung halaman
setelah lama tinggal di Denpasar. Sesekali ia pergi ke Denpasar jika ada acara
seni atau ditunjuk menjadi juri festival dan pembicara diskusi seni.
Kawan
lain, seorang aktivis LSM kini juga menjadi petani dan kerap saya lihat
menggunggah foto aktivitasnya di kampung halaman dengan latar belakang ladang
dan sawah. Ia dikenal kritis dan pernah bergabung di beberapa LSM serta sering
menulis ide dan pemikirannya di koran. Saya bertemu dengannya di sebuah kedai
kopi di Denpasar beberapa waktu lalu dan melihat semangat dan jiwa kritisnya
tetap sama seperti lima belas tahun lalu saat pertama kali berkenalan
dengannya.
Aktivitas
terkini kedua teman saya tersebut menerbitkan pertanyaaan di benak saya; kenapa
memilih menjadi petani? Bukankah masih banyak aktivitas lain yang bisa dilakoni
yang berhubungan dengan bakat dan minat mereka? Soal pilihan hidup tentu saya
tak mau mencampuri, namun menarik
dicermati tentang bidang yang digeluti yakni pertanian. Saya melihat pilihan
dua kawan saya tersebut semacam kerinduan pulang ke kampung halaman dan kembali
mengulang kenangan masa kecil dalam kultur agraris; menyabit rumput atau
memetik kelapa bersama ayah, atau menggembala sapi sambil mandi di sungai.
Kenangan yang mengendap di alam bawah sadar dan muncul kembali saat menginjakan
kaki pulang ke kampung halaman.
Setelah
lama tinggal di kota dan bergelut dalam aktivitas kota yang banal pulang ke
kampung halaman memang semacam oase. Sering kita rasakan ketika pulang kampung
merasa betah dan ingin berlama-lama disana serta enggan kembali ke kota. Namun
karena tuntutan pekerjaan kita mesti balik ke kota dan hidup lagi sebagai pekerja
atau orang kantoran. Sedikit orang yang berani memilih pulang dan bekerja
sebagai petani, profesi yang kini dipandang sebelan mata dan mulai ditinggalkan
generasi muda Bali.
Pilihan
kedua kawan saya tersebut tidak salah. Bali kini memang krisis petani. Apalagi
alih fungsi lahan begitu masif terjadi. Banyak orang Bali yang menjual tanahnya
yang kemudian dijadikan hotel, vila, atau ruko. Tak jarang warga lokal yang
menjual tanahnya lalu menjadi pekerja hotel atau villa di bekas tanah yang
dijualnya. Ironis memang. Di tengah arus pariwisata yang menenggelamkan jati
diri orang Bali menjadi petani menjadi semacam “arus balik”, kembali kepada kesejatian orang Bali yang dulunya
memang sebagai petani dan hidup dalam budaya agraris. Tak aneh jika program transmigrasi
yang menawarkan tanah untuk digarap di luar Bali begitu diminati orang Bali.
Ini menunjukkan bahwa pertanian adalah jiwa orang Bali, bukan industri
pariwisata yang semu dan menyilaukan.
Kisah
kedua kawan saya diatas bisa dijadikan cermin di tengah kegamangan orang Bali
kini yang mencari identitas dan jati
diri. Arus perubahan yang begitu dahsyat membuat pertanian sebagai jati diri
orang Bali kian terpinggirkan. Sangat mendesak diberlakukannya regulasi untuk
melindungi petani dan pertanian, seperti menekan atau bahkan meniadakan pajak
sawah atau ladang sehingga petani tidak diberatkan kewajiban membayar pajak yang
berujung pada keputusan menjual tanah daripada menderita kerugian karena hasil
yang didapat dari pertanian tidak sebanding dengan pengeluaran.
Perlu
juga membuat regulasi bagi hotel, villa, atau restoran di Bali untuk
menggunakan produk pertanian lokal sehingga petani Bali bisa memasarkan
produknya dengan harga bersaing. Namun semua itu hanya akan menjadi sebatas
wacana jika pemerintah tidak mempunyai keberpihakan terhadap Bali.
Para
aktivis sudah waktunya menyuarakan pentingnya pertanian bagi Bali dan terjun
langsung merasakan hidup sebagai petani seperti yang dilakukan kawan saya. Bukan
hal yang mustahil di masa depan pertanian hanya menjadi sebuah cerita dan
generasi mendatang melihat sawah sebagai sesuatu yang langka dan klasik, serta
menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak-cucu kita kelak.
Comments
Post a Comment