Jembrana Memang Bali yang “Lain”
![]() |
(Sumber foto: www.ksmtour.com) |
Sing sanggup isun yo sing sanggup
Ring dunyo urip tanpo nyawang riko
Sing sanggup isun sing sanggup
Adoh ambi riko….
Lagu “Sing Sanggup” duet Mahesa dan Vita
Alvia, penyanyi pop Banyuwangi, Jawa Timur terdengar sayup-sayup dari layar TV di
dalam bus Denpasar-Gilimanuk yang saya tumpangi saat balik dari kampung halaman
di Negara menuju Denpasar. Bus yang membawa saya ber-AC, sesuatu yang jarang saya
temui. Kata kondektur, bus AC ini hanya ada dua dan beroperasi setiap hari pada
jam-jam tertentu dengan tarif yang sama dengan bus non-AC.
Alangkah bagus jika banyak bus seperti ini,
pikir saya. Selain nyaman, penumpang juga akan terbebas dari asap rokok yang
menyergap dari perokok yang tak bisa menahan hasrat merokok meskipun saat berada
di bus yang ramai penumpang.
Lagu pop Banyuwangi
terus mengalun, dengan lagu yang berbeda namun tetap pada genre musik yang
sama. Bagi penumpang bukan berasal dari Jembrana, Bali Barat lagu yang diputar
mungkin terdengar asing, namun bagi orang Jembrana lagu berbahasa Jawa tersebut
merupakan hal yang biasa terdengar karena secara geografis Bali Barat dekat dengan
Jawa Timur, hanya dipisahkan oleh laut yang bisa diseberangi kapal.
Banyak hal yang berbeda dari Jembrana jika
dibandingkan dengan wilayah Bali yang lain. Bisa dikatakan Jembrana adalah Bali
yang “lain”. Kata para tetua, Jembrana di zaman dahulu adalah tempat pembuangan
bagi orang-orang hukuman, mirip seperti Nusakambangan pada zaman sekarang.
Orang-orang yang kritis dan menentang raja dibuang di wilayah Jembrana yang
dulunya meruapakan hutan lebat. Jembrana secara etimologis berasal dari kata Jimbar dan Wana yang berarti hutan yang luas. Bisa dibayangkan, orang-orang
buangan tersebut adalah orang yang tangguh karena mampu bertahan hidup di
tengah ganasnya hutan. Mereka membentuk koloni dan menciptakan peradaban baru.
Maka tak aneh, kebudayaan yang muncul
kemudian merupakan antitesa dari kebudayaan asal tempat orang buangan. Sebut
saja jegog, instrumen musik yang dibuat dari bambu raksasa yang tak dijumpai di
wilayah Bali lainnya, Atau kendang mebarung, kendang berukuran besar mirip
bedug raksasa yang biasanya dimainkan bersama-sama dengan suara bertalu-talu,
Ada juga makepung, lomba pacu kerbau sebagai hiburan petani pasca panen padi
yang mirip dengan karapan sapi di Madura.
Dari segi karakter orang Jembrana juga
berbeda dengan orang Bali pada umumnya. Orang Jembrana dikenal lugas, bicara to the point dan tak bertele-tele. Dari
segi bahasa orang Jembrana lebih suka menggunakan bahasa Bali kasar ketimbang
bahasa Bali halus. Egalitarianisme sangat kentara pada orang Jembrana. Penduduk
Jembrana juga sangat heterogen, suku-suku non-Bali seperti Jawa, Madura, dan
Bugis hidup berdampingan dengan penduduk lokal.
Maka ketika pemerintah Jembrana membuat
festival layang-layang layaknya di Bali Selatan saya melihatnya sebagai sesuatu
yang janggal. Kenapa mesti meniru wilayah Bali lain, bukankah Jembrana memiliki
kekhasan tersendiri. Atau jangan-jangan ini merupakan gejala penyeragaman
budaya? Entahlah. Menurut saya, daripada meniru budaya wilayah Bali yang lain
lebih baik menggali karakter budaya yang dimiliki, sehingga tak terkesan
“latah” demi pencapaian pariwisata misalnya.
Kenapa tidak mengenalkan kesenian Jegog pada
generasi muda atau menghidupkan kelompok-kelompok seni baik tradisional dan
modern yang mati suri karena tak mendapat perhatikan pemerintah. Biarlah
Jembrana tetap berbeda, menjadi Bali yang “lain”. Bukankah kebudayaan Bali itu
kaya, tiap memiliki kebudayaan berbeda, jadi tak perlu berkiblat pada satu
wilayah tertentu.
Comments
Post a Comment