Ibu, Cerpen Angga Wijaya
![]() | |||
Lukisan : Ibuku Menjahit (Sindu Sudjojono - 1935) |
Suara
gamelan lamat-lamat terdengar dari komputernya. Lelaki muda itu memejamkan
mata, perasaannya bergetar. Dia rindu pada kampung halaman yang jarang dia
singgahi. Wajah ibunya membayang di pelupuk mata. Juga keluarga besar yang kerap
berkumpul saat odalan atau hari raya. Sudah lama dia tak pernah ke pura. Pakaian
sembahyang tersimpan rapi di lemari dan warnanya mulai pudar. Entah kapan
terakhir memakainya dia sudah lupa. Perasaan bersalah memenuhi benaknya, dia
merasa telah jauh dengan asal-usulnya. Wajah kota besar merubah dirinya
sedemikian rupa. Buku-buku yang dia baca membuatnya cenderung skeptis dan
jumawa, meragukan Tuhan yang dianggapnya hanya dongeng masa lalu.
Pagi
ini lelaki muda itu bangun lebih awal dan mengenakan pakaian kesukaannya. Dia
bergegas berjalan keluar dari rumah kontrakannya menuju jalan besar dan
menyetop bus menuju kampung halaman. Di bus dia termenung, memikirkan jawaban
jika ada yang bertanya mengapa dia jarang pulang. Dia akan menjawab bahwa dia sibuk
dengan pekerjaanya di kantor. Dia yakin kepulangannya kali ini tidak ditanyai
ini-itu. Kehadirannya setelah beberapa tahun tak pulang sudah cukup
membahagiakan ibu dan keluarga.
Di merajan rumahnya, lelaki itu tenggelam
dalam sembahyang. Dia terisak, meminta maaf pada leluhur dan bhatara. Dia berjanji akan sering
menengok ibunya yang kian renta dan sakit-sakitan.Kakak perempuannya berkata
ibu menunjukkan tanda-tanda depresi, setelah ditinggal mati ayah dia kesepian
dan merasa tak ada yang memedulikannya. Ibu tinggal dengan kakak ipar, janda
dari kakak tertua di keluarga kami yang meninggal enam tahun lalu. Pada sore
hari sehabis hujan, ibu mendekatinya dan mengajak berbincang.
“Kamu
tinggal dengan ibu saja di kampung, nanti di sini kamu membuka usaha, berjualan
entah apa, biarpun penghasilan tak sebesar gaji yang kamu dapatkan di kota
setidaknya ibu tak lagi merasa kesepian, ada yang ibu ajak berbagi,” katanya
dengan wajah sedih.
“Tapi
bagaimana bu, posisiku di kantor sudah bagus dan itu aku dapatkan dengan
perjuangan yang tak mudah dan sebentar. Aku juga kini sudah punya kekasih di
kota lain,walau saat ini kami berpacaran jarak jauh,” lelaki muda itu berkata
kepada ibunya.
Ibu
diam. Ia tak melanjutkan perbincangan. Dari wajahnya lelaki muda itu tahu ibu
sangat sedih mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ibu pasti mengira
anaknya egois, tak mau memperhatikan ibu kandungnya sendiri. Di masa tua ia tak
bahagia, sangat kesepian, anak-anaknya seperti menjauh entah karena apa.
Mungkin karena ibu kurang bijaksana, suka mengadu domba anak-anaknya. Di depan
anak satu membicarakan anak lain dan di depan anak lain membicarakan anak
terdahulu.
***
Beberapa
hari berada di rumah lelaki muda itu merasa pusing, pikirannya penuh. Mungkin
benar kata kakaknya, ibu mengalami depresi dan yang dia lihat sendiri kesehatan
mental ibu memang terganggu. Tak ada yang tahan lama-lama mengobrol dengannya.
Mulutnya seperti berbisa, ada saja orang yang dibicarakannya, tentang tetangga
yang kini menjadi kaya anaknya menjadi TKW dan mengirim uang banyak setiap
bulan.
Lelaki
muda itu dan kakak-kakaknya bukannya tak memperhatikan ibu mereka. Setiap bulan
mereka memberikan ibu uang. Bagi yang punya uang lebih mengirim lebih banyak,
tergantung kemampuan. Termasuk lelaki muda itu, setiap bulan memberi uang pada
ibunya walau tak banyak. Namun ibu tak pernah merasa cukup dengan pemberian
anak-anaknya. Selalu merasa kurang. Bahkan dari penuturan kakak ipar ibu sering
meminjam uang di koperasi, dibayar
setiap hari dengan jumlah sesuai kesepakatan. Entah untuk apa dan kemana uang
yang diberikan anak-anaknya. Lelaki muda itu merasa heran, kebutuhan ibu tak
sebanyak itu,dia hidup sendiri, untuk makan sehari-hari dan membayar tagihan
listrik dan air setiap bulan ia rasa uang yang diberikan anak-anaknya sudah
cukup. Ia curiga ibu menyimpan sebuah rahasia. Ia ingin mencari tahu.
Dari
seorang bibi jauhnya yang tak sengaja bertemu dengannya saat berbelanja dia
kemudian mengetahui banyak hal tentang ibunya. Dulu, sebelum mengenal ayahnya
ibu pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Mereka menjalin hubungan
cukup lama, namun karena berbeda kasta orang tua ibu itu tak menyetujui
hubungan mereka. Ibu mundur, dan berjumpa dengan ayah yang satu kasta dan mereka berpacaran. Pacaran yang singkat,
hanya beberapa bulan kemudian mereka menikah. Konon ibu hamil duluan sehingga
mau tak mau ayah mesti menikahinya. Setelah menikah dengan ayah ibu ternyata
masih sering berkomunikasi dengan mantan pacarnya. Ayah mengetahui itu namun ia
diam, tak mau ribut atau harus bercerai dengan ibu. Ayah sangat mencintai ibu,
walau ternyata kelakuannya tak baik. Ibu sangat perhatian pada ayah dan
mencintai anak-anaknya. Tak ada yang janggal terlihat, banyak keluarga lain dan
tetangga yang memuji kebersamaan ayah dan ibu, hingga tua terlihat mesra dan
romantis.
Namun
di balik itu ada sesuatu, dan hanya ayah dan ibu yang tahu. Hingga menjelang
ayah meninggal karena kanker hati ibu ternyata masih melakukan komunikasi
dengan lelaki itu. Berarti selama puluhan tahun mereka tetap menjalin hubungan,
walau masing-masing telah mempunyai keluarga. Rahasia yang dipegang erat,
seerat genggaman tangan kekasih di malam yang dingin. Kini dia tahu, mengapa
uang yang diberikan anak-anak ibu tak pernah cukup. Ibu ternyata memberikan
sebagian uangnya pada lelaki itu, Membiayai kebutuhan sehari-harinya seperti
beras dan rokok. Pekerjaan lelaki itu tak jelas, orang mengenalnya sebagai
seniman. Kenyataan yang menyakitkan!
Kematian lelaki itu setahun lalu menyebabkan ibu dirundung kesedihan mendalam.
Bukan hanya karena kematian ayah namun juga oleh kematian lelaki itu yang
mungkin lebih dicintainya ketimbang ayah.
Lelaki
muda itu syok mendengar penuturan bibinya. Tenggorokannya tercekat. Peluh
membasahi tubuhnya. Ia marah mengetahui kelakuan ibunya. Ia tak habis pikir apa
yang menyebabkan ibu melakukan itu semua. Ingin sekali ia menanyakan hal
tersebut pada ibu, namun mengingat kondisi mentalnya yang labil ia takut ibu
menjadi marah dan lepas kendali, yang berpengaruh pada kesehatan fisiknya yang
digerogoti berbagai penyakit.
Ia
memilih pulang ke kota. Sore hari setelah makan bersama ibu ia menyampaikan
bahwa ia harus balik ke kota. Ibu diam dan tak bicara sepatah kata pun. Mungkin
dia masih marah karena permintaaannya agar anaknya tinggal dengannya tidak
dituruti. Lelaki itu itu mencium kening ibunya dan bergegas pergi. Hatinya
berkecamuk antara rasa sayang dan benci. Sayang karena ibu kini sendiri dan
kesepian di usianya yang makin tua. Benci karena kini ia tahu kelakuan ibu
selama ini, mengkhianati cinta ayahnya dan mencintai laki-laki lain. Tiba-tiba
ia merasa muak dengan ibunya. Malam ini ia tak bisa tidur nyenyak, bayangan
ibunya saat di pelukan mantan pacarnya menyeruak di batinnya. Ingin sekali ia
memaki ibunya namun tak bisa.
Beberapa
hari setelah pulang dari kampung halaman lelaki muda itu mendapat kabar dari
kakak iparnya bahwa ibu sakit dan dirawat di rumah sakit dan ia disuruh segera
pulang. Ada apa ini, ia membatin. Setelah meminta izin di kantornya keesokan
paginya ia pulang ke kampung, kota kecil di ujung barat pulau. Sesampainya di
rumah ia mendapati banyak orang berkumpul dengan menggunakan pakaian adat,
seperti menyiapkan sebuah upacara. Didapatinya kakak-kakaknya berkerumun di
depan jenasah, jenasah ibunya. Ibu telah meninggal. Bunuh diri. Mayatnya
ditemukan tergantung di kamarnya. Lelaki muda itu tak menangis, ia hanya
memeluk kakak perempuannya yang terlihat sangat terpukul melihat ibu terbujur
kaku, mati tak wajar. ***
Denpasar, Maret
2018
(Catatan: Cerpen ini dimuat pertama kali di Denpasar Post, 1 April 2008 dengan judul Gamelan, dan dimuat juga di sanglah-institute.org)
Comments
Post a Comment