#Penyair Asu, Cerpen Angga Wijaya
![]() |
Sumber gambar: pardomuan.blogspot.co.id |
Aku mengenalnya sejak SMA. Waktu itu kami dipertemukan oleh kawanku bernama Ibed. Kami satu jurusan walau beda kelas. Ibed dan aku sama-sama jatuh cinta pada puisi. Suatu sore ia mengajakku bertemu lelaki kurus berambut gondrong, orang-orang mengenalnya sebagai penyair.
“Saya
ingin belajar menulis puisi.”
“Ya,
aku mengenal keluargamu, keluarga unik dan punya bakat seni. Zaman dulu kakekmu
membuat grup musik pertama dan satu-satunya di kota ini.”
Begitulah
perkenalanku dengan Nanoq, penyair yang kemudian menjadi guruku dan Ibed.
Hubungan kami makin akrab, aku sering mengujungi kos-nya dan mulai mengenal
karya banyak pengarang melalui buku-buku koleksinya. Aku jadi tahu Pramoedya,
Wiji Thukul, Knut Hamsum, Andre Gide, Virginia Woolf dan tertarik filsafat
setelah membaca Socrates, Sartre, Foucault dan Nietzsche yang kata-katanya
membekas di benakku; “Tuhan sudah mati”. Dari buku-buku tersebut aku mengenal
pemikiran lain yang selama ini tak kudapatkan di sekolah. Aku menjadi tak
begitu saja percaya pada omongan guru dan orang tua. Aku tumbuh menjadi pribadi
kritis.
Pernah
aku berdebat panjang dengan guru di kelas. Ia marah dan tak terima dikritisi,
rupanya ia sedikit dendam sehingga menurunkan nilaiku. Sejak mengenal Nanoq aku
main tertarik pada sastra khususnya puisi. Aku suntuk menghayatinya, menulis
puisi dan mengirimnya ke koran. Suatu pagi seorang kakakku memperlihatkan koran
yang memuat puisiku. Aku senang sekali dan tambah bersemangat menulis puisi.
Setamat
SMA aku pindah ke kota provinsi, melanjutkan studi di program diploma bahasa
Inggris. Ibed tetap di kampung halaman, membantu Nanoq yang dipercaya mengelola
koran pemerintah. Aku tetap melanjutkan kegemaranku menulis dan membaca
buku, rutin membeli buku sastra dan
filsafat di toko buku yang banyak ada di kota. Semenjak di kota aku jarang
berkomunikasi dengan Ibed dan Nanoq, guru kami. Aku juga jarang pulang karena
kesibukan kuliah dan bekerja, bersama kakakku membuka kios koran dan majalah
untuk menutupi biaya hidup di kota yang tak murah.
Setamat
kuliah aku mencoba melamar menjadi wartawan di sebuah tabloid yang iklannya kubaca
di koran. Aku diterima menjadi wartawan, entah karena dalam berkas lowongan aku
melampirkan salinan tulisanku yang pernah dimuat di koran atau karena pemimpin
redaksi tabloid itu melihatku punya potensi. Di lain waktu aku tahu mencari
wartawan itu sulit, tak banyak anak muda yang tertarik menjadi wartawan,
apalagi mesti dituntut bisa menulis dan mampu bekerja sesuai tenggat waktu.
Anak-anak muda sekarang jarang yang bisa menulis, tata bahasa mereka kacau,
mungkin ada yang salah dengan pendidikan bahasa dan sastra aku kurang paham.
Aku
memberi tahu Nanoq kabar gembira itu. Ia turut senang dan tak lupa memberikan
semangat dan nasihat agar aku konsisten dan tak cepat bosan dengan pekerjaanku.
Ia tahu aku mudah bosan dan itu kelemahanku. Nanoq bercerita Ibed kini di Jawa
melanjutkan studi di bidang seni teater, sesuatu yang ia impikan sejak dulu.
Koran pemerintah yang Nanoq kelola tak terbit lagi, setelah tampuk kekuasaan
berganti, dan bupati yang baru tak tertarik pada media. Nanoq kini membuka
warung kopi sambil mengelola komunitas seni-budaya di kota kecil kami. Banyak
anak-anak muda yang nongkrong di warungnya, sekadar minum dan makan, ada juga
yang membaca buku, bermain gitar dan menekuni musikalisasi puisi. Semua
diterima Nanoq dengan tangan terbuka. Ibarat tanaman, bibit potensi anak-anak
muda perlu dirawat, dan Nanoq tahu bagaimana caranya. Seperti saat ia
“menemukan” aku dan Ibed dan memberi pengaruh besar pada hidup kami.
Meski
tak lagi mengasuh koran Nanoq tetap menulis. Tapi di media yang berbeda. Ia
kini suka menulis di media sosial yang menjadi tren tak hanya di kota besar
namun kota kecil hingga sudut-sudut desa dan kampung. Facebook terutama, sihirnya
begitu hebat, membuat banyak orang kecanduan. Kita dapat dengan mudah menemukan
kawan dan kerabat yang lama tak ada kabar berita dan menjalin lagi hubungan
yang sempat terputus hanya dengan mengetik nama orang tersebut di kotak pencarian,
atau terhubung dengan orang yang berada di belahan manapun di dunia. Internet
membuat jarak antar negara atau benua tak ada lagi. Semua bisa terhubung di
dunia maya. Ajaib memang.
Nanoq
sering menulis status lucu dan kritis yang mengundang banyak komentar. Tentang
kucing peliharaan atau tentang segelas kopi di pagi hari dan menu-menu baru di
warungnya. Kadang ia menulis sesuatu yang serius, tentang kebijakan pemerintah
yang dirasanya tak adil atau tentang pejabat di kota kami yang tak becus mengurus
seni-budaya. Saat mengkritik mereka ia sangat berani. Di akhir kalimat dia
selalu menulis “Asu!” yang terdengar kasar karena dalam bahasa Indonesia
berarti “Anjing”. Pembaca statusnya ada yang setuju dan mendukung apa yang ia
tulis, ada yang tersenyum dengan mengirim emoticon
(emotion icon) orang tersenyum dan ada yang mengirim emoticon tertawa terpingkal-pingkal, entah setuju dengan pendapat
Nanoq atau bahkan menertawainya. Tak ada yang menanggapinya dengan marah, meski
tanpa merasa takut ia sering menyebut jabatan struktural pejabat yang
dikritiknya. Tanpa lupa di akhir kalimat mengetikkan kata “Asu”, seperti memaki
dan menyumpahi. \
Aku
sering mengikuti apa yang ia tulis, tanpa ikut berkomentar dan mengikuti
perdebatan yang kerap menyertai tulisan statusnya. Seiring bertambah usia aku
kurang suka berdebat, berbeda dengan tahun-tahun awal ketika tamat dari sekolah
menengah aku sangat suka berdebat, baik di alam nyata atau di internet. Banyak
grup aku masuki hanya untuk menguji dan mendebat apa yang ditulis orang. Ada
kebanggaan saat lawan bicara merasa terpojok dan kalah, apalagi kemudian ingin
menjadikanku teman diskusi dan belajar dariku. Masa itu telah lewat, kini aku lebih
banyak berkontemplasi, tertarik spiritualitas dan menekuni meditasi. Sejak membaca
buku karya seorang mistik, dan saat membaca pertama kali kata-katanya mengguncang
pemikiranku. Aku mulai berjalan dan meniti ke dalam diri, yang membuat hidupku kini
meditatif dan lebih berarti,
Sudah
lama aku tak melihat tulisan Nanoq di Facebook. Mungkin dia sibuk, begitu
pikirku. Beberapa minggu tak ada kabar aku mencoba menghubunginya, namun sayang
nomornya tak aktif. Aku kemudian menghubungi kawan-kawan di kampung untuk
mencari tahu kabar tentang guruku itu. Dari seorang kawan aku mendapat berita
bahwa kini Nanoq berganti nomor ponsel, setelah akun Facebooknya diretas orang
tak dikenal dan mulai mendapat telepon gelap berisi ancaman, karena
tulisan-tulisannya dianggap menghina pemerintah. Aku ingin sekali bertemu Nanoq
untuk memastikan keadaannya. Walau rezim telah berganti namun pola pikir lama
masih bercokol pada pejabat-pejabat baru yang anti-kritik. Mereka tak segan
menggunakan kekerasan untuk membungkam suara-suara yang mereka anggap mengina
dan membahayakan kedudukan mereka.
Keesokan
harinya, aku pulang dan mencari Nanoq. Tak kutemukan. Warung yang juga menjadi
rumahnya tutup. Kutanyakan pada kawan-kawan dekatnya namun tak ada yang tahu di
mana Nanoq. Seputar kota aku mencarinya, sia-sia. Nanoq seperti hilang ditelan
bumi. Aku lalu pergi ke desa di mana ia pernah dibesarkan, di sana aku bertemu
istrinya. Dengan mata sembab ia bercerita tiga hari lalu pada malam hari Nanoq
dijemput tiga orang bertubuh tegap, mereka menghardik dan memukul suaminya, dan
menyeretnya menuju mobil. Sejak itu ia tak tahu bagaimana nasib Nanoq, entah
masih hidup atau sudah mati. (*)
Denpasar, Maret
2018
Comments
Post a Comment