“Ngorta”, Budaya Bali yang Kian Terpinggirkan




Sore hari di sebuah kedai kopi tempat para wartawan di Denpasar biasa nongkrong, saya menikmati kopi sembari membaca berita di media online. Kedai sepi, terlihat dua pengunjung yang sepertinya berbincang serius tentang politik. Tiga puluh menit berlalu, pengunjung tersebut berlalu. Tinggal saya sendiri di kedai kopi. Hingga seorang pria bercelana pendek dan bertopi datang. 

Saya mengenalnya, dia seorang penulis yang pernah mengelola majalah budaya berbahasa Inggris. Tulisan-tulisannya bagus dan bernas, dia kritis dalam banyak hal. Dia pernah lama tinggal di Yogyakarta dan bergelut dengan iklim intelektual di sana. Kami lalu berbincang hangat, mulai soal buku dan dunia penerbitan hingga soal pribadi tentang pengalaman memiliki pasangan berbeda suku dan agama.

Pertemuan tak disengaja dan obrolan itu membekas di ingatan saya. Sudah lama saya tak mengobrol secara dalam, bukan karena tak mempunyai banyak teman tapi karena rutinitas sehari-hari yang menyita waktu menyebabkan jarang bertemu dengan kawan lama yang memiliki minat sama dan nyambung ketika diajak ngobrol. Maka, perjumpaan dengan kawan di atas menjadi berkah—berbincang tentang banyak hal sambil menikmati kopi hingga tak terasa waktu berjam-jam berlalu.

Dalam obrolan saya biasanya lebih banyak mendengar dan menjadi pendengar yang baik. Saya bukan termasuk tipe orang yang mendominasi percakapan. Dengan mendengar saya banyak mendapat informasi baru seperti misalnya dunia perbukuan di Yogyakarta dari kawan saya tersebut. Ketika orang didengarkan saya percaya dia mendapat perhatian, ada sesuatu yang ‘terlepas’ di batin apalagi ketika membicarakan hal yang mengganjal perasaan, mengobrol bisa menjadi sarana katarsis yang menurut ilmu psikologi adalah sebagai pelepasan kecemasan dan ketegangan yang ada di dalam diri seseorang.

Pada artikel di Wikipedia yang saya baca, istilah katarsis ini dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud yang dikenal sebagai pelopor psikoanalisa. Katarsis adalah pelepasan emosi-emosi yang terpendam. Proses katarisis ini sangat penting bagi orang-orang yang sedang menghadapi masalah-masalah emosional. Dan pada umumnya, orang  menghadapi masalah-masalah emosional. Mereka menghadapi situasi yang menyedihkan, mengecewakan, menjengkelkan, dan seringkali tidak mau mengungkapkannya kepada orang lain. Mereka lebih suka memendam dalam hati atau berusaha untuk melupakannya. 

Dalam kenyataannya, suatu masalah makin dipendam dan diusahakan untuk dilupakan, maka akan muncul berbagai macam ganguan fisik dan psikologis seperti depresi, kecemasan dan berbagai bentuk penyakit psikologis.

Di sini “ngorta” (mengobrol) memiliki arti penting. Bertemu dengan kawan atau kerabat di bale banjar atau tempat upacara dan “ngorta" kangin-kauh menjadi hal yang menyenangkan. Namun, budaya ‘ngorta’ di masa sekarang semakin jarang ditemui, terutama di kota besar yang mengagungkan individualitas. Orang-orang tak punya waktu lagi untuk sekadar ngobrol dan sibuk dengan urusannya masing-masing. 

Terlebih lagi adanya teknologi yakni gawai yang mendominasi kehidupan warga. Pertemanan di dunia virtual semakin menggeser pertemanan di kehidupan nyata: gawai tak lepas dari genggaman sejak bangun di pagi hari hingga menjelang tidur di malam hari. Internet dan media sosial dengan segala pernak-perniknya menjadi sesuatu yang wajib diikuti jika tak ingin disebut ketinggalan zaman dan kudet atau kurang update. 

Akhirnya, kebiasaaan “ngorta” atau mengobrol kini makin tergusur oleh teknologi. Padahal, kebiasaan ini penting untuk menjalin hubungan yang humanis antar sesama manusia. Tak bisa digantikan dengan teknologi yang notabena tak ada human touch atau sentuhan kemanusiaan. Teknologi sangat ‘kering’ dan lambat laun bisa mengancam kemanusiaan kita.



Sumber gambar: pixabay.com

Comments

Popular posts from this blog

Telaga Ngembeng

Bedah Rumah; dari ODGJ untuk ODGJ

Kamar Kos dan Demokrasi