Mengenali Diri Sendiri, Upaya Cegah Pengangguran
Tingginya
angka pengangguran di Bali menjadi persoalan tak hanya bagi pemerintah, namun
juga pelaksana pendidikan, seperti sekolah dan universitas. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, pada tahun 2017 jumlah pengangguran di
Bali sebanyak 36.143 orang, dan angka tertinggi ditempati kota Denpasar yakni
13.556 orang.
Denpasar
sebagai ibu kota provinsi Bali menjadi kota tujuan migrasi tak hanya dari
kabupaten/kota lain di Bali, namun juga dari provinsi lain seperti Jawa Timur,
NTB dan NTT. Pemerintah provinsi Bali dan kota Denpasar sejatinya telah
melakukan terobosan dan program untuk mengurangi pengangguran dengan mengadakan
job fair yang diadakan sekali atau
dua kali dalam setahun dengan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di Bali
namun upaya tersebut tampaknya belum mampu menekan angka pengangguran.
Menjadi
pertanyaan kenapa langkah pemerintah tersebut belum bisa menekan angka
pengangguran. Job Fair atau pameran
bursa kerja, sebagai mana tujuan awalnya mempertemukan perusahaan sebagai
penyedia lapangan kerja dengan para pencari kerja dari berbagai latar belakang
pendidikan sebenarnya merupakan program bagus. Di setiap berita media massa di
Bali tentang job fair, kegiatan ini sangat diminati pencari kerja terbukti
dengan jumlah peserta yang mencapai angka ratusan. Ini menunjukkan peminat job
fair sangat banyak, sebagian besar adalah lulusan baru universitas, SMA, dan SMK
yang sedang mencari pekerjaan. Namun kenyataannya. jumlah pencari kerja belum
sebanding dengan lapangan pekerjaan yang ada. Hal ini bisa dijadikan salah satu
hipotesis penyebab pengangguran di Bali. Setiap tahun, sekolah dan universitas
meluluskan anak didiknya yang mencapai jumlah ribuan bahkan ratusan ribu orang
jika digabung semuanya.
Saya
sering bertanya ketika misalnya meliput acara wisuda universitas; mau kemana
para sarjana ini setelah lulus? Hal yang pasti tentunya mereka akan mencari
pekerjaan, berebut dengan ratusan hingga ribuan pencari kerja lain yang kini tak
hanya berasal dari Bali namun juga dari luar Bali. Syukur jika dapat, jika
tidak terpaksa menunggu nasib baik atau berakhir menjadi pengangguran, suatu
hal yang tak mengenakan terlebih jika mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk menempuh pendidikan serta tenaga dan materi yang tak sedikit demi
mendapat sebuah gelar pendidikan.
Kondisi
ini diperparah dengan mentalitas “priyayi”, pilih-pilih pekerjaan karena gelar.
Banyak lulusan universitas tak mau mengambil pekerjaan yang menurut mereka tak sesuai
dengan gelar mereka dan melahirkan sikap gengsi dan tak realistis; tak mau
bekerja di bidang pekerjaan yang dipandang “rendah”, misalnya pekerjaan di
sektor informal meskipun jelas-jelas mereka butuh pekerjaan sehingga lebih
memilih menjadi pengangguran. Pengangguran terdidik, menurut istilah kini,
menyebut pengangguran yang merupakan lulusan diploma atau universitas yang diperkirakan setiap tahun di Indonesia
penambahan jumlah penggangguran terdidik ini menembus angka 66.000 orang.
Jumlah yang tak sedikit, memang.
Perlu
terobosan baru untuk mengatasi hal ini, seperti memberikan pengetahuan tentang
kewirausahaan sejak dini yang menjadi program pemerintah saat ini. Namun,
menurut saya itu tidak mudah. Sebagian besar masyarakat terutama para siswa masih
berpegang pada pola pikir “bekerja pada orang” bukan bekerja mandiri dan
menciptakan lapangan kerja. Kewirausahaan masih menjadi sesuatu yang baru. yang
identik dengan kelompok masyarakat tertentu yang memang sejak usia dini di
keluarga dididik menjadi wirausahawan dan ketika dewasa saat lulus sekolah
menerapkan pendidikan tersebut, bekerja mandiri sebagai wirausahawan.
Bakat dan minat
Hal
lain selain menumbuhkan jiwa kewirausahaan menurut saya yang perlu menjadi
perhatian adalah pendidikan, yang pada masa sekarang selalu dikaitkan dengan
sekolah dan guru. Ada sesuatu yang dilupakan bahwa orang tua juga bertanggung
jawab terhadap pendidikan anak. Peran keluarga pada tumbuh kembang seorang anak
sangat besar. Orang tua tak bisa begitu saja menyerahkan tugas pendidikan
kepada guru di sekolah, terutama soal pengenalan diri pada anak. Sedari dini,
hendaknya orang tua membekali anak dengan pengetahuan tentang identifikasi
diri, potensi dan bakat apa saja yang terlihat menonjol pada anak dan memupuk
potensi dan bakat tersebut hingga anak beranjak dewasa. Misalnya, jika sejak
kecil bakat yang dimiliki anak di bidang musik orang tua bisa menyediakan
fasilitas pendukung misalnya mengikutsertakan anak les atau kursus musik, agar
bakat dan potensi yang dimiliki anak makin terasah sehingga ketika dewasa kelak
ia bisa menggunakan potensinya untuk dijadikan sebuah profesi, menjadi seniman
musik atau pengajar di bidang musik,
Nena
Mawar Sari, psikolog RSUD Wangaya Denpasar menjelaskan, bakat adalah sesuatu
yang dianugerahi oleh alam tentang sesuatu hal yang mungkin tidak diketahui
oleh individu bersangkutan. Lain halnya dengan minat yang mengandung arti
sesuatu yang disukai dan belum tentu individu memiliki bakat pada apa yang ia
sukai. Kadangkala, seseorang terjebak pada minat orang lain, misalnya mempunyai
ayah yang berprofesi sebagai dokter makan anaknya mesti mengikuti jejak ayahnya
menjadi dokter tanpa ia memikirkan apakah anaknya mempunyai bakat di bidang
tersebut atau tidak, apakah anaknya berminat atau tidak.
“Pemahaman
inilah yang harus kita coba jernihkan, bahwa setiap individu mempunyai bakat
dan minat. Nah, bagaimana cara mengetahuinya? Bakat bisa diketahui melalui
observasi orang tua pada anaknya. Misalnya seorang anak di bidang matematika
kurang tapi di bidang seni bagus, terkadang orang tua menyebut anaknya bodoh
jika tak pandai matematika atau bahasa Inggris. Di Indonesia banyak orang tua
yang menganggap seni atau sastra nomor sekian, yang penting pintar matematika
dulu baru dianggap pandai. Itulah yang menjadi mental block individu dan bersikap menunggu atau menuruti pandangan
orang tua,” ujarnya saat ditemui pada pertengahan Agustus lalu di Denpasar.
Nena
menambahkan, jika seorang anak sudah tahu bakat dan minatnya maka ia akan
tumbuh menjadi individu yang kreatif. Kalau pun ia tidak bekerja di perusahaan,
misalkan memiliki bakat bisnis dan tak punya bakat di bidang menghitung tapi ia
punya kemampuan merancang atau desain maka ia bisa saja membuka usaha sesuai
bakat dan minatnya. Dikaitkan dengan sistem pendidikan di Indonesia, Nena
melihat di Indonesia kurikulum pendidikan yang didapat siswa masih general, dan
anggapan bahwa siswa pandai adalah ia yang memiliki nilai tinggi di bidang
matematika, fisika, atau bahasa Inggris tanpa melihat misalnya seorang siswa
pandai berdebat atau mengambar.
“Jika
pandai di bidang tertentu seperti seni, misalnya pintar menari atau menyanyi
itu sepertinya masih dianggap hal kesekian dan belum dianggap sebagai prestasi
belajar. Tapi saat ini itu sudah mulai berkurang karena adanya peminatan atau
penjurusan misalkan pada kelas VII di SMP ada peminatan kulikuler, jika seorang
siswa berminat di bidang bahasa misalnya maka akan masuk ke kelas atau
ekstrakulikuler di mana ia bisa belajar lebih banyak tentang bahasa. Itu
menunjukkan mulai adanya apresiasi positif dari nilai akademik selain ilmu
eksak, meski masih dianggap sebelah mata dan hanya sebagai syarat berjalannya
kurikulum,” katanya.
Bagi
para orang tua, untuk mengenali bakat dan minat anak menurut Nena mereka
pertama harus memahami bahwa setiap individu mempunyai bakat yang berbeda,
tidak bisa disamaratakan antara si kakak atau si adik, si teman maupun orang
tua sekalipun. Setiap anak lahir dengan individual yang utuh, punya gift atau bawaan yang sudah dipunyai
sejak lahir dan itu harus dihargai dan diterima dengan terbuka. Kedua, orang
tua mesti mulai memfasilitasi atau men-support
dan mengarahkan anak supaya apa yang menjadi bakat dan minat anak sehingga anak
benar-benar serius menjalani bakat dan minatnya. Ketika si anak serius
menjalani apa yang ia suka dan minati dna mendapat dukungan dari keluarga tentu
akan menjadi suatu prestasi.
“Banyak
orang yang tak sadar bakat dan minatnya. Setelah dites, misalnya ada hasil tes
berkaitan dengan indoor atau outdoor atau analitik, itu bisa
menunjukkan apakah seseorang lebih senang berbicara dengan orang lain dan menyukai
bidang sosial, itu kan menjadi petunjuk dari tes bakat tersebut, yang berguna
dalam upaya mengenali diri” pungkasnya.
Alhasil,
jika seseorang mengetahui minat dan bakatnya sejak dini bisa dipastikan ia akan
lebih mudah mengetahui potensi yang dimiliki dan tak salah misalnya dalam
memilih jurusan saat kuliah atau bidang pekerjaan yang akan digeluti. Dan, jika
dikaitkan dengan fenomena pengangguran tentu ini bisa menjadi indikator bagi
individu untuk bisa memilih pekerjaan sesuai bakat dan minatnya sehingga tak
ada lagi bidang pekerjaan yang tak sesuai atau tak nyambung dengan studi yang
ditempuh, misalnya seorang sarjana pertanian bekerja di bank atau seorang
sarjana antropologi bekerja sebagai marketing atau sales perusahaan makanan,
sesuatu yang banyak kita ditemui di kehidupan nyata. ***
Gambar diambil dari shutterstock.com
Comments
Post a Comment