Membuang Sampah Pikiran dan Perasaan Pada Tempatnya
Ketika bertemu dengan saudara, kerabat atau sahabat, aktivitas yang paling banyak dilakukan adalah mengobrol, tentang banyak hal sesuai dengan minat dan kondisi kita. Janji bertemu di warung kopi, restoran, hotel atau hanya di beranda rumah dan kamar kontrakan menjadi sangat ditunggu. Sering kali, tanpa kita sadari, waktu satu, dua bahkan hingga berjam-jam kita habiskan untuk sekadar “melepas penat” setelah beberapa waktu didera kesibukan pekerjaan sehingga membutuhkan penyegaran batin.
Mengobrol menjadi aktivitas
mengasyikkan; ada beban yang terlepas saat seseorang melakukan percakapan
tentang keadaan diri. Tak sedikit juga membicarakan sesuatu di luar diri:
“ngomongin orang lain”; teman kerja, istri, suami, anak dan subjek lainnya.
Secara tak sadar, mengobrol kemudian jatuh pada pergunjingan, gosip yang konon
“makin digosok makin sip”. Bahkan, seakan-akan kita menjelma menjadi manusia
yang paling suci, baik dan tak tercela. Orang lain paling buruk, jahat, selalu
kurang di mata kita. Hal baik pada mereka tak terlihat lagi.
Ditemani secangkir teh atau kopi, serta
makanan kesukaan, obrolan tak terasa mengalir jauh, sejauh orang atau sesuatu
yang kita “libatkan’ dalam perbincangan. Memang, setelah itu biasanya kita
merasa nyaman. Ada orang lain yang mendengarkan keluhan, uneg-uneg dan beban
kita. Apalagi, lawan bicara mendukung omongan kita. Rasanya senang sekali, kita
seakan mendapat tempat yang tepat. Namun, siapa yang bisa menjamin “uneg-uneg”
yang kita keluarkan nantinya tidak berimbas pada lain hal, misalnya jika kita
“ngomongin” A, lawan bicara kita tak
melanjutkan pada B, C, D atau E. Atau, sialnya, menyampaikan pada A kembali?
“Tong Sampah"
Obrolan yang kita harapkan bermanfaat pun akhirnya hanya sampah, dan kita tak lebih menjadikan lawan bicara “tong sampah” yang mungkin enggan menyela kita saat berbicara karena dia adalah bawahan kita, atau kita sosok yang dia hormati karena kedudukan dan status ekonomi sehingga “tak enakan” bahkan untuk menyela omongan kita dan mendengarkan walau dengan terpaksa.
Sampah pikiran dan perasaan tetaplah
sampah. Mengobrol adalah hal wajar, namun jangan sampai hanya menjadi ajang
“buang sampah”. Perlu dirasakan juga perasaan lawan bicara kita; apakah kita
mendominasi perbincangan, mendengar hanya apa yang ingin kita dengar, atau
justru bak seorang motivator suka menasihati bahkan menggurui, tanpa melihat
konteks persoalan. Jangan-jangan, orang lain yang justru memerlukan hal lain
saat berjumpa dengan kita; butuh tempat berbagi tentang rencana pernikahan,
membuka usaha baru, pindah pekerjaan, atau hal mendesak seperti meminjam uang
karena kondisi keuangan yang kurang baik, terlebih di masa pandemi saat ini di
mana banyak terjadi pemutusan hubungan kerja karena perusahaan yang gulung
tikar.
Jangan karena pada kebudayaan kita
ngobrol bisa lama-lama dan “gratis”--jika dibandingkan di negara-negara Barat
orang tak punya banyak waktu mengobrol, di samping karena sibuk bekerja dan
juga ‘individualis’--Mereka jika ada masalah “curhat” ke psikolog atau psikiater dan membayar mahal
untuk itu, kita menjadi semena-mena, mengobrol hingga berjam-jam hanya untuk
ingin merasa lebih baik, membuang sampah pikiran dan perasaan yang sayangnya
tidak pada tempatnya.
Mulailah Menulis
Jika ada larangan membuang sampah
sembarangan, agaknya hal itu juga berlaku pada “sampah pikiran dan perasaan’.
Daripada menceracau tak karuan—baik itu di dunia nyata atau dunia maya; membuat
“status”, “story” atau apa pun secara berlebihan dan tak terkontrol, sepertinya
“cara lama”, yakni menulis buku harian atau diary bagus dilakukan. Secara
psikologis, dengan menulis beban kita berkurang; aman, tak menimbulkan konflik
dengan orang lain atau sesuatu yang kita tak suka karena orang lain tak tahu,
kecuali ada yang membaca diam-diam buku harian kita (kalau di masa lalu
biasanya ibu, sosok yang peduli pada kita melebihi siapa pun).
Itu pula yang saya rasakan pada
aktivitas menulis yang pada banyak kesempatan saya sebut sebagai sarana terapi
dan medium katarsis. Sejak 2018 saya telah menulis sembilan buku. Jika dipikir
ulang, rasanya mustahil saya bisa menulis buku dengan produktif. Awalnya memang
dimulai dengan kegemaran menulis di buku harian, sejak saya remaja.
Keterampilan menuangkan pikiran dan perasaan ke dalam tulisan kini saya sadari
sangat bermanfaat. Jika pun akhirnya memilih menjadi penulis, hal tersebut bagi
saya tak lain karena pilihan hidup. Setidaknya, dalam profesi lain kemampuan
menulis terbukti membantu pekerjaan misalnya membuat proposal, laporan, dan
konten media sosial bagi mereka yang bekerja sebagai penulis konten yang kini
banyak dibutuhkan perusahaan sebagai sarana promosi dan pemasaran.
Bagi para mahasiwa, kemampuan menulis
sangat membantu ketika mengerjakan tugas kuliah dan skripsi pada masa akhir
studi. Dalam bidang kesehatan mental, menulis, dalam hal menuangkan perasaan di
dalam buku harian juga baik untuk memperbaiki kondisi mental bagi orang yang
memiliki gangguan mental, seperti depresi, bipolar, gangguan kecemasan, hingga
skizofrenia. Terapi menulis di negara-negara maju banyak digunakan oleh
psikolog maupun psikiater sebagai metode penyembuhan bagi orang dengan masalah
kejiwaaan, yang agaknya di Indonesia masih belum banyak diterapkan. Meski telah
ada karya sastra seperti puisi, cerpen, dan memoar yang ditulis oleh penyintas
gangguan mental, kebanyakan karena kemauan sendiri dari penulis, bukan metode
pemulihan yang didapat dari misalnya rumah sakit jiwa atau poliklinik psikiatri
di rumah sakit umum.
Budaya Lisan
Di Indonesia, di mana budaya lisan lebih
banyak tumbuh ketimbang budaya tulisan, membuat sebagaian masyarakat lebih suka
berbicara daripada menulis, menjadikan aktivitas mengobrol sebuah kebiasaan
sehari-hari. Mengobrol boleh, itu bagus—sebab kita makhluk sosial, tak hanya
makhluk individu, kata pelajaran SD dahulu. Namun, baiknya tidak jatuh menjadi
kegiatan menggosip dan bergunjing yang di masa sekarang menyuburkan ‘budaya
nyinyir” yang bisa melahirkan konflik. Sejatinya itu hanya membuang-buang
energi yang semestinya bisa kita gunakan untuk banyak hal lain yang lebih
bermanfaat.
Atau ketika sebagian besar warga
masyarakat menjadi pengguna internet aktif, membuat interaksi dalam dunia nyata
menjadi berkurang. Komunikasi lebih banyak dilakukan secara virtual yang tak
jarang menciptakan keterasingan. Untuk itu, komunikasi langsung antarkeluarga,
kerabat atau pasangan baiknya dijaga, sehingga kita tak harus melihat “status”
dan “story” atau “chatting-an” mereka hanya untuk mengetahui keadaan dan
perasaan orang-orang terdekat kita, yang bisa diartikan mereka lebih memilih
media sosial untuk menyampaikan sesuatu. Sebab teknologi mengajarkan itu. Kita
pun diperbudak olehnya, menjadi zombie yang hanya sibuk dan lekat dengan gawai
yang membuat kita tak lagi menjadi “manusia”. ***
[Gambar diambil dari Pixabay]
Comments
Post a Comment