Ngiring, antara Pemberontakan Kultural dan Pelarian
![]() |
Sumber gambar: jurusapuh.com |
Makin sering kita lihat orang Bali berpakaian putih-putih dengan senteng atau kain yang dililitkan di pinggang berwarna poleng (belang) putih-hitam. Ada juga yang berpakaian mencolok dan berbeda dengan penampilan masyarakat pada umumnya. Mereka dengan atribut seperti itu sering dikatakan sebagai orang yang ngiring.
Banyaknya orang Bali
yang ngiring kemudian ditanggapi dengan pendapat beragam dari
berbagai kalangan. Ada yang mengatakan itu sebagai krisis identitas manusia
Bali kekinian hingga dianggap sebagai gejala gangguan kejiwaan. Alasannya,
mereka yang ngiring biasanya mengalami waham, keyakinan salah
yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini orang lain dan bertentangan
dengan realita normal.
Dulunya para
pelaku Ngiring umumnyai adalah balian atau dasaran. Keberadaan
mereka diakui dalam tradisi Hindu di Bali sebagai salah satu golongan pemangku
yaitu Pemangku Balian.
Namun, kini nampaknya
hal tersebut mengalami pergeseran. Mereka yang ngiring kini
tidak mesti menjadi balian atau dasaran melainkan hanya sebagai penanda bahwa
seseorang sedang mendalami ajaran agama dan spiritualitas. Bahkan, bisa jadi
hanya semacam gaya hidup baru pencarian jati diri.
Hal itu mengingat kini
makin banyak kelompok spiritual di mana anggotanya memiliki kebutuhan sama
mencari kedamaian diri dengan melakukan berbagai laku spiritual. Meditasi,
yoga, melukat, dan tirta yatra ke berbagai pura yang ada di Bali maupun luar
Bali.
Saya melihat fenomena
ini sebagai sebuah pemberontakan kultural. Jika zaman dahulu ajaran agama hanya
dimonopoli oleh golongan tertentu, kini tidak lagi.
Perkembangan zaman
yang ditandai pesatnya kemajuan teknologi membuat orang Bali kini bisa
mengakses berbagai informasi termasuk ajaran Hindu yang banyak dijumpai di
internet. Ini termasuk hadirnya kelompok-kelompok spiritual yang mempunyai
jaringan global seperti Hare Krishna, Sai Study Group, Brahma Kumaris dan
lainnya.
Orang dengan mudah
bisa berguru, mendalami spiritualitas dan menemukan komunitas yang mampu
mengisi kekosongan batin dan kurangnya pengetahuan agama. Ini berlaku juga
dalam kelompok-kelompok spiritual lokal di Bali. Orang yang tertarik meditasi,
yoga atau menjadi penyembuh mendapat tempat cocok saat bergabung pada perguruan
dan kelompok spiritual yang ada. Sesuatu yang jarang kita jumpai 20 atau 30
tahun lalu.
Fenomena ini hampir
sama dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an. Saat
itu kaum Hippies yang didominasi anak muda merasa muak dan menyuarakan protes
atas terjadinya Perang Vietnam. Mereka mencari jati diri dengan belajar
meditasi. Salah satunya dipopulerkan oleh Maharishi Mahesh Yogi, guru spiritual
asal India yang juga merupakan panutan kelompok musik The Beatles.
Jika kaum Hippies
mendalami spiritualitas untuk mencari jati diri dan menyuarakan protes terhadap
perang, di Bali orang-orang yang ngiring
mungkin saja mengalami hal sama, pencarian jati diri dan sebuah pemberontakan
kultural.
Ini menandakan
runtuhnya sebuah hegemoni. Orang Bali kini mempunyai hak yang sama untuk
belajar agama dan mengekspresikan minat mereka akan spiritualitas. Hal yang
bagus asalkan tidak merupakan sebuah eskapisme, pelarian. Lari dari masalah dan
kenyataan hidup yang dihadapi lalu mendapat pembenar dan larut dalam kelompok
yang diikuti. Di sisi lain, masalah tetap ada dan bahkan semakin pelik.
Tentunya semoga bukan ini yang terjadi.
Fenomena ngiring hendaknya disikapi dengan arif
dan bijaksana. Semakin banyak orang Bali mencintai dan mendalami ajaran agama
tentu makin bagus. Kesadaran akan keseimbangan hidup dimaknai dengan laku
spiritual yang diterjemahkan dengan sikap hidup yang penuh kedamaian, cinta
kasih dan empati.
Comments
Post a Comment