Di Kota Besar, Ruang Berarti Uang
BERBEDA dengan di desa
dimana ruang belum semua bernilai ekonomis, di kota besar ruang identik dengan
uang.
Di Denpasar misalnya,
ruang seperti kamar atau sepetak lahan bisa menghasilkan uang baik disewakan
maupun dijual. Rumah kost yang makin menjamur di Denpasar bisa dijadikan bukti
betapa berharganya nilai ruang. Mulai kost sangat sederhana berupa rumah bedeng
yang disewakan seharga Rp 300 ribu per bulan hingga kost mewah yang bertarif Rp1
hingga Rp1,5 Juta per bulan.
Pun demikian dengan
lahan yang menganggur. Tempat parkir sebuah toko atau ruko biasanya disewakan
pada pedagang makanan seperi lalapan di malam hari. Hampir tak ada ruang yang
tak bisa dijadikan uang. Semua bernilai ekonomis, yang menguntungkan tak hanya
bagi pemilik tapi juga bagi para penyewa.
Tak hanya rumah kost,
kini mulai banyak terdapat tempat parkir atau garasi berbayar bagi mereka yang
mempunyai mobil namun tak mempunyai tempat menaruh mobil mereka. Biasanya
berupa lahan kosong yang dibuatkan atap dan disekat sesuai dengan ukuran mobil.
Harga sewanya berkisar antara Rp300 hingga Rp400 ribu rupiah per bulan untuk
satu mobil. Sebuah bisnis yang menjanjikan, hanya bermodalkan lahan kosong bisa
menghasilkan banyak uang.
Belum lagi rumah
kontrakan atau hotel—dari hotel melati hingga hotel berbintang—yang semuanya
memanfaatkan ruang yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tak ketinggalan, ruang
yang disewakan untuk berdagang baik di pasar hingga di mall memiliki arti bahwa
ruang di kota besar memang identik dengan uang.
Ruang juga bisa
dicontohkan halaman koran yang bisa
menghasilkan uang dengan memuat iklan yang bernilai jutaan bahkan belasan juta
rupiah. Seperti di sebuah media besar yang memiliki jaringan di banyak kota di
Indonesia, halaman yang memuat rubrik sastra berupa esai dan puisi yang
berjalan beberapa tahun terakhir kini tak ada lagi, diganti dengan rubrik yang
lebih popular dan menguntungkan. Ruang sastra yang banyak peminatnya walau tak
mendatangkan honor bagi penulis pun dipinggirkan demi pendapatan perusahaan
media.
Ya, ruang berarti uang,
dan di zaman sekarang makin sulit ditemui ruang yang tak tersentuh
materialisme. Tak ada yang tak bisa dijual, semasih ada celah serta kesempatan
dan permintaan.
Tiba-tiba saya merindukan
suasana pedesaan tradisional, di mana belum tersentuh modernitas dan tak semua
dinilai dengan uang. Atau mungkin saya salah, sebab banyak desa kini sudah
menjelma menjadi kota lengkap dengan perubahan sosial-budaya yang menyertainya.
Budaya materialisme tumbuh di mana-mana dan kapitalisme menunjukkan kekuatannya
bahkan hingga ke pelosok desa sekalipun. Tak ada ruang yang tersisa bagi
kebersahajaan dan kesederhanaan. Sawah-sawah banyak dijual, berganti menjadi
pemukiman, hotel maupun vila.
Pertumbuhan serta
perpindahan penduduk yang tak terbendung membuat ruang makin dibutuhkan dan di
Bali angka alih fungsi lahan setiap tahunnya meningkat tajam. Timbul
pertanyaan, adakah ruang yang tersisa bagi anak-cucu kita kelak? Entahlah,
sebab semua dijual dan dimaknai dengan materi sehingga sulit menemukan ruang
yang benar-benar bebas dari kepentingan.
Sumber gambar: https://student.unud.ac.id/sriayuwulandari/news/63149
Comments
Post a Comment