Di tengah kekayaan makna, izinkan sesekali hening dan sepi itu "berbicara." Tidak dalam posisi menyalahkan, namun datang sebagai pelengkap yang belum tentu lengkap.
ODGJ: Antara Stigma, Labelling dan Glorifikasi
Get link
Facebook
X
Pinterest
Email
Other Apps
-
Beberapa waktu lalu saya menonton berita di
televisi tentang kegiatan pasien dalam tahap pemulihan pada sebuah panti sosial
yang menangani penyakit kejiwaan di Jakarta melakukan kegiatan kebersihan di Lapangan
Monas dan mendapat sorotan media, disambut baik oleh pemerintah kota yang berencana
mempekerjakan mereka sebagai tenaga kebersihan.
Ada terminologi baru bagi para penderita penyakit
kejiwaan yakni ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), ODMK (Orang dengan Masalah
Kejiwaan) dan ODS (Orang dengan Skizofrenia). Istilah baru ini muncul sejak
disahkannya UU Kesehatan Jiwa pada 2014 silam. Terminologi ODGJ, ODMK dan ODSmenambah daftar istilah yang berkaitan dengan
penyakit yang diderita seseorang seperti ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), ODB
(Orang dengan Bipolar) dan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Istilah-istilah ini
dibuat mungkin untuk memperhalus dan untuk menghindari stigma di masyarakat.
Seperti diketahui, stigma bagi penderita penyakit
jiwa masih sangat kental. Banyak miskonsepsi akibat minimnya pengetahuan
tentang kesehatan jiwa. Penyakit jiwa dianggap sebagai sebuah kutukan, kurang
iman, masalah karma, salahang bhatara, dan
karena disantet atau diguna-guna. ODGJ yang relaps (kumat) serta kerap mengamuk
karena tak mendapat pengobatan yang baik akhirnya dikurung atau dipasung oleh
keluarganya dan membuat penyakit yang diderita makin parah karena perasaan
tertekan, terkucil dan terbuang yang dirasakan penderita gangguan jiwa sehingga
muncul rasa dendam kepada keluarga yang menelantarkannya.
Di sisi lain, terminologi ini akan menjadi sebuah labelling, menjadi “cap” yang malah
membebani mental penderita seperti halnya label ET (eks tapol) di masa Orde
Baru dulu untuk menyebut orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI dan
komunis. Labelling ini bisa bersifat
permanen, padahal jika kita perhatikan istilah ini mengacu pada penyakit yang
diderita seseorang dalam jangka waktu tertentu. Penderita HIV yang rutin
berobat kemungkinan penyakitnya tak berkembang menjadi AIDS, atau ODGJ
penyakitnya bisa sembuh jika mendapat penanganan yang tepat.
Terminologi ODGJ memang terdengar lebih halus
daripada “sakit jiwa” atau “gila”, istilah yang umum di masyarakat bagi para
penderita gangguan jiwa. Istilah yang mungkin terdengar kasar ini menurut saya
adalah sebuah shock therapy,
seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan menjadi sadar bahwa ada yang kurang
beres dengan dirinya. Walau kadang memunculkan stigma yakni orang yang
menderita gangguan kejiwaan dianggap selamanya sakit dan tak mungkin sembuh
serta dipandang sebelah mata oleh masyarakat bahkan oleh keluarga sendiri.
Orang yang menderita gangguan kejiwaan secara tak
sadar akan melabeli dan memberi identitas baru pada dirinya. Setelah misalnya
keluar dari panti atau rumah sakit jiwa dan dinyatakan sembuh label tersebut
tetap ada, ia biasanya akan mencari teman yang dianggap memiliki penderitaan
yang sama dengannya, bergabung dengan komunitas yang anggotanya memiliki
riwayat penyakit kejiwaan dan tetap membawa label yang secara tidak dia sadari
menjadi identitas barunya. Bergabung dengan sebuah komunitas yang peduli
terhadap kesehatan jiwa tak ada salahnya, bertemu dan mengenal orang yang
“senasib” membuat ODGJ tak lagi merasa sendiri dan kesepian. Mereka bisa saling
berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun hendaknya tidak dalam jangka waktu
lama sebab pergaulan dapat mempengaruhi jiwa. Para pengidap gangguan kejiwaan
akan terus merasa sebagai orang sakit walau sebenarnya telah sembuh dan
masyarakat telah menerima mereka. Penderita gangguan kejiwaan perlu keluar dari
“kotak” untuk menghadapi dunia nyata, menghadapi orang-orang yang mungkin
menganggap sebelah mata, atau sebaliknya memahaminya dan menganggap kejadian di
masa lalu adalah sebuah proses yang memang harus dijalani.
Dari pengalaman saya bergaul dengan kawan-kawan
ODGJ dan ODS di sebuah komunitas pemberdayaan ODGJ di Denpasar, sebagian besar
dari mereka menerima perlakuan yang kurang mengenakan baik dari keluarga atau
masyarakat. Sepulang dari perawatan di rumah sakit jiwa mereka merasa kurang
dipedulikan, entah karena amarah dan rasa “dendam” dari keluarga jika teringat
perbuatan ODGJ di masa lalu yang mengamuk dan merusak atau berkata-kata kasar
dan menyakitkan kepada anggota keluarga lain sehingga merasa lebih baik
membiarkan mereka tetap di rumah sakit jiwa dan tak menyarankan untuk kembali
pulang ke rumah.
Namun kebalikannya, jangan sampai penyakit jiwa
yang dialami ODGJ dijadikan semacam glorifikasi, merasa bangga dengan penyakit
dan menganggap diri spesial dan berbeda dengan orang lain. Glorifikasi pada
ODGJ biasanya bersifat sangat halus dan tak tampak. Awalnya mengasihani diri
dan merasa diri paling menderita dan menyampaikannya kepada orang lain, baik
secara lisan maupun tulisan yang bertujuan ingin dimengerti dan dikasihani.
Namun sikap ini bisa berkembang menjadi sikap memuliakan penyakit yang diderita
dan ada kebanggaan yang dirasakan saat banyak orang yang kasihan dan menunjukan
kepedulian pada mereka.
Membebaskan diri dari stigma, labelling dan
glorifikasi yang datang dari luar atau dalam diri memang sulit, perlu
keberanian dan usaha yang tak kenal lelah. Penerimaan diri juga tak kalah
penting, menerima kejadian buruk di masa lalu sebagai cara Tuhan untuk
meningkatkan kesadaran kita dan tak menyalahkan orang lain termasuk Tuhan
sebagai penyebab nasib buruk yang menimpa menunjukkan kebijaksanaan dan
kedewasan sebagai manusia.
Gambar: lukisan "Philistines" karya Jean-Michel Basquiat, 1982, acrylic and crayon on canvas, 183 x 312.5 cm. Sumber: https://creators.vice.com
Di toko modern, penyair itu memesan kopi. Dia bangun dini hari, ingin menikmati pagi Jalanan gelap, lampu-lampu dipadamkan. Pengemudi memacu kencang kendaraan. Tadi dia sempat merapikan buku-bukunya. Hendak dijual semua untuk penuhi hidup. Istrinya tak suka ia mencintai buku-buku Tak mendatangkan uang tidak berguna Dia suka kalau penyair itu banyak menulis Perlu membaca jika ingin mewujudkan itu. Logika sering memusuhi perasaan penyair Membuat mereka sering berselisih paham. Penyair itu ingin berpisah dengan istrinya Istrinya menolak tidak mau meninggalkan Ada yang mesti diperjuangkan selama ini Pergi bukan jawaban yang bijaksana kini Mereka hanya perlu memperbaiki cinta Memahami bahwa semua akan baik saja. Di meja ia teringat istrinya masih terlelap Dibelinya roti coklat juga susu lalu pulang 2023 [Photo by Annie Spratt on Unsplash ]
Rumah Berdaya Denpasar siang itu tampak lebih sepi dari hari biasa. Hanya tampak beberapa pegawai yang bertugas. Di masa pembatasan sosial karena wabah Covid-19 memang warga Rumah Berdaya dihimbau untuk lebih banyak di rumah, hanya pada saat berobat datang ke komunitas orang dengan gangguan jiwa yang berlokasi di Jalan Raya Sesetan, Pegok, Denpasar Selatan ini. Saya menemui Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya Denpasar dan berbincang tentang kegiatan bedah rumah yang baru saja selesai dan diserahterimakan pada akhir Maret 2020 lalu. Bedah rumah adalah program baru Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali, induk organisasi Rumah Berdaya Denpasar. Biasanya, program bedah rumah diinisiasi oleh pemerintah. Namun yang dilakukan kali ini berbeda. Bedah rumah dikerjakan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) khususnya skizofrenia. Mereka adalah warga Rumah Berdaya Denpasar yang telah pulih. Pak Nyoman, panggilan akrab Nyoman Sudiasa dengan samringah ...
Media sosial kini menjadi permainan yang mengasyikkan bagi kebanyakan orang, termasuk para penulis. Menjadi wadah ekspresi tempat berbagi pemikiran dan karya, melalui tulisan pendek dan panjang atau sekadar status yang hanya terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Ruang interaktif yang menjadi ciri khas media ini membuat setiap tulisan bisa dikomentari pengguna lain menghadirkan suasana yang hampir mirip dengan kehidupan nyata. Bahkan, Hiperrealitas, meminjam istilah seorang pemikir. Saya perhatikan, beberapa kawan penulis yang aktif di media sosial juga aktif menghasilkan karya misalnyamenulis buku. Awalnya saya berasumsi media sosial menjadi godaan besar penulis, karena bisa menyita waktu produktif dengan saling berbalas komentar atau terlibat dalam diskusi dan obrolan tentang sebuah isu atau fenomena yang hangat di masyarakat. Namun, tak semua penulis gemar menggunakan media sosial, ada juga yang menghindarinya. Bagi penulis yang jeli dan cerdas, media sosial bis...
Comments
Post a Comment